Sabtu, 31 Maret 2012

Pohon Tidak Berbuah, Ya Allah Jauhkan !

Ungkapan bahasa Arab 'Al ilmu bila 'amal kasysyajar bila tsamar'  artinya ilmu tanpa amal bagaikan pohon tak berbuah, telah lama saya hafal. Sejak belajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) sekolah setingkat SMP, bersama dengan teman-teman juga telah mengenal pepatah ini. Bahkan, saking populernya ungkapan ini, mungkin tidak ada pelajar Islam yang tidak pernah mendengarnya. Hanya saja dulu sebatas hafalan dan modal latihan berceramah atau berpidato. Maklum,  tambahan gaya dalam menyampaikan pidato, sekalipun sekedar bunyi saja tanpa memahami dan menyadari isi pembicaraan.
Sekarang berbeda. Membaca ulang dan mengkaji ulang pepatah ini, sudah mengalami pemahaman dan suasana batin yang berbeda pula.

Betapa tidak enak menanam pohon yang diharap, ternyata tidak berbuah. Pohon yang kita sayangi dan cintai itu, sekedar memberikan harapan, sedangkan buahnya nihil. Pohon jenis ini sebenarnya hanya membawa kerugian jika dipertahankan apalagi sampai dipelihara dan dihidupsuburkan. Pohon yang dimaksud tersenut sebenarnya adalah diri kita sendiri. Jika seorang yang mengetahui apalagi setingkat alim-ulama, penyuluh ruhani dan guru-guru, jika ilmu yang dipelajari selama ini dengan susah payah tidak membuahkan amal, maka inilah maksud pohon yang tidak berbuah.Itu masih sederhana, tidak mengamalkan ilmu yang telah diketahui sama dengan pohon yang tidak berbuah, bagaimana jika dilanggar dan dilawan dengan sikap kontra ilmu alias maksiyat.

Di sinilah ujian penuntut atau orang yang berilmu dan memahami. Kemuliaan ilmu pada seseorang,  bukan karena dia memiliki atau mengetahui banyak ilmu yang diturunkan Tuhan. Sekali lagi bukan. Kemuliaan ilmu seseorang hanya bagi mereka yang konsisten dan teguh beramal sesuai dengan ilmu yang dipahami. Bagi pelanggar, justru dihinakan oleh ilmunya sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari terlalu banyak contoh yang mewakili contoh pohon yang tak menghasilkan buah. Ini dapat terjadi pada guru, pejabat, petani, nelayan, ulama, pedagang dan siapa saja. Minimal. jika seseorang tidak melaksanakan ilmunya, jenis ilmu apapun yang semestinya mampu meninggikan derajat seseorang sebagaimana titah Tuhan, maka ia mirip dengan pohon yang tidak berbuah. Aduhai sungguh rugi dan rugi mempunyai pohon jenis ini. Selain itu, kehinaan dan caci makilah yang diraihnya. Itu karena ilmu yang maslahat pasti disetujui semua orang. Ketika seseorang melanggar ilmu, langsung terdeteksi oleh si pelanggarnya sendiri, pada tahap awal. Tahap selanjutnya pasti berimbas kepada orang lain. Seorang guru yang tidak mengamalakan ilmunya yang telah diterangkan kepada siswanya, pasti dalam jiwanya terdapat kesadaran pengkhianatan

Demi menghindari pohon yang tak berbuah, maka seseorang harus tegak dengan ilmunya, tegak dengan kebenaran dan kejujuran yang menjadi ruh kehidupan. Jangan pernah membayangkan meraih prestasi yang memuliakan, jika kita sendiri melanggar ilmu-ilmu yang selama ini kita ketahui. Hanya orang yang menamalkan ilmulah  nanti akan diberi ilmu lain. Sebaliknya pelanggar ilmu membuahkan kehinaan, cemoohan dan caci maki. Oleh karena itu, semoga kita dilindungi Tuhan dari sifat berkhianat dalam ilmu.//Zul

Rabu, 14 Maret 2012

Memelihara Diri Dengan Syariat

Memelihara diri, inilah pangkal bagi keselamatan manusia. Manusia yang sadar dan mengerti pasti hati-hati, sebaliknya yang lupa akan sembrono terhadap dirinya. Memelihara diri, tidak hanya mencakup tubuh jasmani semata, karena manusia juga memiliki diri ruhani. Umumnya orang, memahami makna memelihara diri secara sempit itu, karena era sekarang adalah era yang lebih mementingkan yang tampak dari yang tidak tampak. Istilah lain, sekarang adalah era materialisme yang dibanggakan, soal ruhani dan spiritualitasnya rapuh dan berpenyakit itu bukan urusan. 

Memelihara diri, juga tidak sederhana, dengan hanya mengandalkan ilmu yang sederhana pula. Kata kuncinya, memelihara diri sangat berkaitan dengan pemahaman seseorang tentang hidup. Atau boleh jadi banyak orang yang ingin memelihara dirinya dari hal-hal negatif, namun tidak mencukup dirinya dengan bekal ilmu, akhirnya tersesat jalan. Mereka mengira telah  berusaha memelihara diri, ternyata semakin memperburuk kedaan dirinya.  Cobalah tengok cara-cara orang modern memelihara dirinya, misalnya melalui segala jenis olahraga, atau  dengan diet yang ketat, atau dengan berbagai merek kosmetik, semuanya berkaitan dengan diri jasmaninya saja.

Sesungguhnya shalat tepat waktu, datang ke masjid shalat berjamaah, pergi ke majlis ilmu, mendengarkan petuah agama, membaca al-qur'an, berzikir dll selurunya adalah teknik murah memelihara diri. Sekali lagi cara dan teknik yang sangat murah memelihara diri. Cara pemeliharaan diri ini lah yang ditawarkan Allah swt kepada manusia, sebagai tanda kasih dan cinta kepada hamba-Nya. 

Aneh sekali, ternyata cara ini dianggap sebagai beban yang sangat berat, seakan-akan tidak dapat dipikul. Ada pula yang menganggap enteng, malas dan menganggapnya remeh. Sebagian mereka berusaha menggunakan teknik ini ketika berhadapan dengan kebuntuan demi kebuntuan, sebagai pelarian terpaksa. Lihatlah, ketika dirundung kesedihan, kesusahan, kemelaratan, sakit, kegalauan dll, barulah sadar dengan teknik yang ditawarkan Allah swt untuk jalan pemulihannya. 

Marilah memelihara diri dengan cara yang dituntunkan Tuhan kepada hamba-Nya. Jangan pernah sombong, bahwa kita dapat menyelesaikan masalah secara sendiri. Itu mustahil. Diri kita sudah dirancang untuk tunduk kepada Tuhan-Nya demi penyelesaian masalah demi masalah. Itu karena solusi yang ditawarkan Tuhan, adalah hal yang sangat dibutuhkan manusia. Jika tidak percaya, cobalah melawan nasihat Tuhan dan lihat akibatnya. 

Ini sesuai dengan kaidah 'di mana saja ditemukan kemaslahatan, pasti di dalamnya terdapat syariat Tuhan, dan sebaliknya dimana saja terdapat syariat Tuhan, pasti membawa kemaslahatan bagi manusia'.//Zul 

GURU SEJATI

Betapa mulia kedudukan seorang guru. Bukan karena hitung-hitungan gaji rendah atau tinggi, karena pendapatan sedikit dan banyak bukan jaminan tenteram. Selama menjadi guru di beberapa lembaga pendidikan, dari tingkat Sekolah dasar sampai Perguruan Tinggi ada pengalaman yang saya peroleh sebagai hasil dialog antara tugas guru mengajar dengan kemampuan guru dalam membentuk siswanya. Saya membayangkan bahwa guru baik dan pintar bukanlah mereka yang mampu mentrensfer ilmu dan pengetahuan kepada peserta didik. Bukan pula yang disegani atau dicintai peserta didik, karena itu bukan misi utama kehadiran seorang guru. Guru sejati yang saya maksudkan di sini mungkin masih bersifat gambaran- gambaran, namun seperti itulah hakikat dan esensi tugas guru.


Saya membayangkan, guru ideal adalah guru yang mampu membentuk dan mencetak siswa menjadi manusia dengan segala potensi-potensi yang dimilikinya. Guru ini, memiliki kekayaan pengalaman mengenai watak dan kebiasaan peserta didik, sehingga ia akan mengarahkan, menambah atau mengurangi sifat dan kebiasaan anak didik agar siswa memiliki potensi unggul. Misalnya, siswa pemalu, di hadapan guru sejati ini, ia membuat siswa pemalu jadi berani dan percaya diri. Siswa lain datang dengan kebiasaan bawaan pemberani dan 'kurang ajar', maka guru sejati ini berusaha mengurangi sifat negatif yang berlebihan menjadi berani tanpa kurang ajar. Anak didik lain datang dengan sifat minder yang berlebihan, di hadapan guru ini pekerjaan utamanya, berusaha agar siswanya tidak minder alias ia menjadi percaya diri. Demikianlah dari beratus ragam sifat dan kebiasaan siswa, ia mampu menata, memadukan, menyeimbangkan dan kemudian hanya menonjolkan sifat-sifat yang positif.

Guru sejati ini, laksana peracik bumbu yang sangat ahli menyesuaikan takaran seimbang dari sekian banyak jenis rempah-rempah sehingga menghasilkan rasa makanan yang memuaskan. Segala jenis rasa dan aroma rempah-rempah itu, adalah contoh perilaku dan kebiasaan siswa yang sangat komplek, dan ditangan guru sejati inilah semua perilaku, kebiasaan, sifat, karakter dll, diatur, ditata dan dibentuk secara seimbang. Guru seperti ini, hanya dapat dipikul oleh guru yang telah berpengalaman atau mereka yang benar-benar memang mengerti jati diri seorang guru.

Guru sejati ini, jauh dari perilaku yang  masuk ke dalam kelas hanya untuk menggugurkan kewajiban, kemudian cukup. Apalagi guru yang memang malas masuk ke kelas. Guru sejati yang dimaksudkan penulis ini, hampir sama dengan tugas guru mengelola pendidikan pembentukan karakter, tetapi bukan sekedar karakter yang sifatnya biologis. Guru sejati di sini lebih banyak kepada pembentukan jiwa dan kekuatan spiritual dengan seluruh potensinya.

Gambaran tugas dan pekerjaan guru sejati ini, sesuai dengan makna tarbiyah, yang tidak cukup hanya mengajar (ta'lim) saja. Sayang seribu sayang, umumnya guru-guru kita hari ini lebih merasa sebagai tenaga pengajar (muallim) dari pada murabbiy. Buktinya, jika guru tidak sanggup mentarbiyah dirinya, manalah mungkin akan mampu mentarbiyah anak didiknya. Jika guru tidak memiliki akhlak mulia, yang hendahk ditransfer kepada anak didik, maka rasa-rasanya tidak mungkin menjadi guru sejati sebagaimana dikemukakan di atas. Guru jenis terakhir ini, hanya menjadi muallim (pengajar) dan belum sanggup menjadi murabbiy.//Zul

Selasa, 06 Maret 2012

Membenci Tidak Lebih mem-Bahagiakan daripada Dibenci

Banyak penelitian yang menyodorkan bahwa kebencian tidak pernah membahagiakan. Itu dalam tataran pergaulan sesama, apatah lagi dalam level kejiwaan secara individu. Para psikoanalis menemukan,  hanya dengan berpikir positiflah  sebenarnya hidup ini mencapai bahagia. Tidak ada hidup bahagia dalam kebencian, apalagi kebencian irrasional. Para pembenci, hanya sanggup memuaskan egoismenya tetapi tidak akan pernah menemukan ketenangan dan kebahagiaan jika di bandingkan dengan orang yang tidak disukainya. Itu karena kebencian sebenarnya melawan arus, bukan mengikuti arus sehingga perjalanannya lebih rumit dan tertekan. 


Berbeda dengan orang yang dibenci dengan catatan tidak ikutb juga membenci, jika lapang dada dan senyum sekalipun pahit, tetap akan menghasilkan energi positif. Itu pasti karena telah ditemukan lewat penelitian demi penelitian. Al-qur'an menggunakan rumus rasional ketika Allah berfirman:
 إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ ٣
Sesungguhnya orang yang membencinmu, dialah yang terputus (Akhir ayat surat Al-Kautsar)
Coba perhatikan dan rasakan sendiri di kala kita bennci dengan seseorang. Semakin kuat kebencian itu, maka semakin sempit dan sumpek dada. Sepertinya kita menjadi pemenang, namun sebenarnya kitalah yang kalah.Bahkan sebuah penelitian menyebutkan, semakin suka kita marah atau membenci justru semakin cepat menua. Itu lantaran energi yang dibutuhkan seorang pemarah dan pembenci lebih banyak dibandingkan dengan senyum seseorang. Ini bermakna selalu marah disimpulkan lebih cepat menua dari usia aslinya.//Zul

Sabtu, 03 Maret 2012

Kejujuran Butuh Keberanian

Berani bukan urusan orang berkelahi semata. Berani juga terdapat dalam urusan moral. Contoh, untuk jujur diperlukan keberanian. Berani berkata benar, berani terbuka, berani menanggung resiko dan berani-berani lainnya. Intinya kejujuran butuh keberanian. Tidak ada kejujuan tanpa ujian keberanian. Oleh karena itu, ketika berniat jujur, bab pertama yang harus dilewati adalah berani berkata jujur dan mempertanggungjawabkan perkataan. 

Mengapa kejujuran hari ini langka? Itu karena kejujuran pasti mengikat secara obyektif siapa saja yang mau jujur. Kejujuran yang hanya ditujukan kepada orang lain saja, dengan mengecualikan diri sendiri, justru lebih berbahaya. Itu namanya jujur subyektif. Hanya kejujuran obyektiflah yang mampu menggugah, selain itu hanya akan mendatangkan bencana, lambat atau cepat.

Islam, betapa memuliakan kejujuran. Salah satu sifat wajib yang harus dimiliki nabi adalah jujur. Ini tidak mengherankan, karena betapa berat beban yang pikul seorang nabi, jika dia sendiri misalnya, tidak jujur. 

Nah........... sebenarnya jujur itu apa? Jujur dalam kamu bahasa Indonesia adalah lurus hati. Maksudnya Hati dan perbuatannya selaras, berbeda dengan pembohong dan pengkhianat yang isi hatinya dibelokkan oleh perbuatannya. Dengan ungkapan lain, juju itu isi hatinya sama dengan penampilannya. Sifat ini tidak mengelabui orang lain. Keaslian dirinya ditampilkan apa adanya. 

 Lantaran pengertian jujur seperti di atas, maka hemat penulis tidak mungkinlah seseorang mampu jujur jika dalam hatinya tidak terdapat akar kejujuran itu. Akar kejujuran yang dimaksud adalah iman itu sendiri. Dengan keimanan yang benar seseorang harus memaksakan diri jujur, sebab kebohongan mencederai keimanan. Berdusta bagi orang beriman, berkhianat bagi orang beriman, menampilkan berbeda dengan isi hati dan pikiran, mencederai keimanan. Oleh karena itu, jika ingin memupuk keimanan, jalan paling mudah mengantar ke sana adalah kejujuran.  Sebaliknya yang memporak-porandakan keimanan adalah ketidakjujuran. Maksudnya semakin tinggi kejujuran yang kita lakukan, semakin berpeluang mendapat rahmat Tuhan. Sebaliknya, semakin tidak jujur kita dalam berbuat, maka keimanan itu semakin yang mencerahkan kehidupan, akan semakin jauh dari kehidupan. 

Marilah coba memaksa diri untuk jujur dalam rangka mengundang rahmat tuhan, dan jauhkan sifat-sifat tidak jujur demi menggapai ridha Allah SWT. Semoga Allah membantu kita memberikan kemampuan berbuat jujur, karena segalanya di dalam kekuasaanNya.//Zul
 

Mungkinkah Mengamalkan Al-Qur'an ?

Banyak orang bicara soal mengamalkan al-Qur'an. Sebagian dari mereka kalau tidak kebanyakan itu, tidak pernah atau sangat jarang membaca al-Qur'an. Nah..............ini dia masalahnya. Mungkinkah mengamalkan al-Qur'an bagi orang yang menyentuh saja jarang, apatah lagi membaca dan mempelajarinya? Kita hanya dapat mengambil manfaat seseuatu yang dekat dengan kita. Itu contoh sederhana, misalnya, parang, komputer, sepatu dll, semua benda itu dapat dimanafaatkan jika dekat dengan kita. Maka sekali lagi tidak mungkin kita mengamalkan al-Qur'an jika kita tidak dekat dengannya.

Dekat dengan al-Qur'an maksudnya bukan dekat secara fisik, karena boleh jadi setiap saat kita bawa al-Qur'an, namun secara substantif kita jauh bahkan menentang al-Qur'an. Kedekatan dengan al-Qur'an dapat diartikan merasakan al-Qur'an secara langsung melalui nasihat-nasihatnya. Saat berhadapan problem, al-Qur'an menjadi obat dan penawar bagi penyaakit jiwa. Filosofi kedekatan al-Qur'an ini sangat identik dengan kedekatan seseorang dengan pejabat tertentu, misalnya. Jika dekat dan sering berakrabria dengan bupati atau gubernur, maka secara sengaja atau tidak pasti kita lebih mudah mendapatkan manfaat dari pejabat itu. Tapi bayangkan, jika kenal pejabat saja tidak, manfaat apa yang dapat diperoleh dengan hubungan macam ini.

Marilah kita dekati al-Qur'an, niscaya dengan caranta sendiri akan memberi manfaat yang banyak. Diantara cara mendekati al-Qur'an yaitu membacanya, mempelajarinya, mengajarkannya dan memperjuangkannya. Tetatpi pintu gerbang terbesar bagi pengenalan dan jalur pendekatan dengan al-Qur'an adalah dengan membacanya. Sekali lagi membacanya. Sulit sekali membayangkan seseorang dapat mengambil manfaat al-Qur'an tetapi tidak pernah atau sangat jarang membaca al-Qur'an.

Maka mulailah membacanya, niscaya Allah berbicara langsung kepada mengenai petunjuk-petunjuk-Nya. Adakah karunia yang melebihi ini, di mana Allah sendiri berbicara memberikan nasihat-nasihat-Nya secara langsung? Semoga kita mampu melakukaknnya, Amien ya Muibassailien.//Zul