Kamis, 30 Agustus 2012

Hati-Hati Dengan Bacaan Al-Qur'anmu

Ada sebuah hadis yang patut direnungkan berkaitan dengn Al-Qur'an sebagai bacaan dan pedoman hidup. Hadis ini menggambarkan betapa  mereka yang berusaha menjaga Al-Qur'annya harus dengan kesungguhan dan kehati-hatian, agar Al-Qur'an tersebut tidak hilang. Hilang di sini maksudnya, tentu bukan kehilangan mushaf Al-Qur'an,  akan tetapi bacaan, pemahaman dan pengamalan lepas dari seseorang. Kalau diartikan mushafnya yang hilang, sampai hari ini kita tidak sulit mendapatkannya kembali. Di rumah, di sekolah, di masjid termasuk di toko-toko buku banyak dipajang mushaf Al-Qur,an. Hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Jaga dan peliharalah Al-Qur'an, demi Allah sesungguhnya Al-Qur'an itu lebih cepat hilang daripada onta yang diikat dalam tambatannya. (Bukhari-Muslim).

Onta dalam tambatannya /ikatannya saja mudah hilang, apalagi yang tidak terikat sama sekali. Jika bacaan dan pemahaman mudah hilang dari diri, entah lupa atau karena tidak ada  spirit dan kekuatan ruhiyah Al-Qur'an di dalam kehidupan, maka secara prinsip keduanya dapat bermakna hilang. Inilah yang sering terjadi dan menimpa mereka yang aktif membaca al-Quran, tetapi tidak hati-hati sekaligus sungguh-sungguh menjaganya.  Seseorang mahir dan memiliki kemampuan BTQ (Baca Tulis Al-Qur'an), namun wawasannya tidak mampu menerangi hidupnya. Dengan ungkapan lain, Al-Qur'an sebatas  penghias bibir belaka di forum resmi, di pertemuan dan rapat majlis al-Qur,an. Bahkan menjadi kebanggaan. Sementara isi kandungannya kita tidak peduli atau mungkin kita langgar. Nauzu billah min zalik. 

Mengingat Al-Qur'an demikian berharga bagi kehidupan kita, seharusnya dan memang itu wajib kita pelihara dan jaga. Paling tidak keinginan membaca terus ditumbuhkan dan berusaha mendalami isinya. Logikanya, jika membaca saja tidak pernah, apa mungkin mengamalkannya? Jika kebiasaan mengkajinya tidak tumbuh, tentu sangat jauh harapan mengamalkannya. Semoga tetap bersemi dalam keinginan membaca, mengkaji, mengamalkan dan mendakwakan ke teman, kerabat, tetangga dll  yang kita sayangi bahkan kepasa yang tidak suka sekalipun.//Zul......

Selasa, 28 Agustus 2012

MAMUJU BUTA AKSARA AL-QUR'AN ?

Kementerian Agama Kab. Mamuju baru-baru ini menggemakan bebas buta aksara al-Qur'an. Launching program penyegaran ingatan dan interaksi dengan al-Qur’an ini, dimulai pada malam Nuzulul Qur’an 1433 H di Mamuju. Gerakan ini, hemat penulis, sangat dibutuhkan umat. Entah sadar atau belum sadari sebelumnya.

Aneh tapi nyata,  memang. Mereka yang  akan dibebaskan dari buta aksara al-Qur'an  umat Islam sendiri. Mulai dari Gubernur, Bupati, Ketua DPR, Kepala Dinas-kepala dinas, pegawai Kementerian Agama dll serta di tengah-tengah umat Islam yang mayoritas tersebar di daerah ini program ini digemakan. Kuat dugaan saya, program ini tujuan utamanya bukan muallaf (mereka yang baru masuk agama Islam), meskipun mungkin ada atau bahkan tidak ada sama sekali. Bukan pula untuk anak-anak umat Islam yang masih belasan tahun usianya, berkah Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA) yang jumlahnya tersebar luas dari masjid ke masjid. Gerakan pembebasan buta aksara Al-Qur'an ini lebih ditekankan untuk  orang Islam dewasa tetapi masih belum dapat alias tidak bisa membaca, juga menulis, lebih-lebih memahami teks Al-Qur'an. Sungguh luar biasa aneh tapi nyata. "Bisa-bisanya" ! Sebagian berkata sambil terheran-heran. Tapi itulah fakta memilukan, menyedihkan dan mengerikan. Maka Program ini benar-benar kegiatan yang luar biasa. Luar biasa karena seharusnya tidak terjadi, luar biasa karena hal ini terjadi pada teman, tetangga dan sanak family, luar biasa karena dibawah pejabat yang mayoritas umat Islam dan termasuk luar biasa tenaga yang harus dibangun untu pembebasan buta aksara al-Qur’an.

Meskipun tidak enak menuliskan di sini, akan tetapi harus dikemukakan, mudah2an menjadi pelajaran berharga yang harus dicari jalan keluarnya. Untuk khatib (penceramah di hari jum'at) terkadang ada masjid yang susah menunjuk orang yang layak membaca teks khutbah Jum'at. Kalaupun ada yang berani maju membacakan teks (bukan menyampaikan khutbah), bacaan al-Qur'an panjang pendeknya belepotan alia kacau. Bahkan sebagian dari saudara dan teman kita banyak  yang secara jujur mengakui bahwa memang sama sekali tidak bisa membaca al-Qur'an. Hitungan usia mereka terbilang remaja dan dewasa. Jika kita bertanya, ada apa? Mengapa hal ini terjadi?  Beragam jawaban dan atau dalih yang dapat dikemukakan. Hemat saya, sebenarnya bukan sekedar krisis membaca, menulis dan memahami al-Qur'an, tetapi kita mengalami krisis iman. Dan, inilah pangkal dan sebab utama umat lemah semangatnya mempelajari al-Qur'an. Sekalipun iman ada, tetapi iman tidak menjadi penerang dan motivator bagi perjalanan hidup. Iman dan kepercayaannya tidak mampu membangunkan diri dari kelalaian akan betapa urgen dan pentingnya memahami al-Qur'an. Meminjam istilah tasawuf, iman dalam hatinya sakit, atau jangan-jangan mati, dalam jasad sehat dan penampilan trendy.

Program pembebasan buta aksara al-Qur'an yang digagas  Kemenag Mamuju kemudian bak gayung bersambut.  Pemerintah Kab. Mamujupun benar-benar menyadari hal ini sehingga program ini harus memasuki semua jenjang atau tingkat pendidikan formal, dari SD, SLTP dan SLTA dan seluruh lapisan masyarakat. Ini tidak mengherankan lantaran program ini adalah tanggung jawab formal kedua lembaga pemerintah itu, juga lembaga lain yang terkait di mata publik. Selain itu, karena keinginan memperoleh kebaikan dan berkah di sisi Allah swt secara pribadi dan kollektif diharapkan mampu memompa semangat kerja demi lancarnya program ini.

Nah... seperti apa model dan teknis pelaksanaannya? Menurut hemat saya, untuk menyukseskan kegiatan ini, terdapat potensi dan sumber daya di tengah masyarakat yang sangat besar demi menyukseskan program pembebasan buta aksara al-Qur'an ini. Masyarakat terutama pihak orang tua  menyadari diperlukan campur tangan pemerintah seperti Perda dan sejenisnya, demi terlaksananya program ini. Guru mengaji dan mereka yang berpotensi menjadi guru mengaji sebenarnya banyak dan ini  tersedia secara acak di masyarakat. Suport serta suntikan dana yang tidak berjumlah besar itulah yang diinginkan guru dan calon guru mengaji demi tambahan pendapatan untuk menutupi kebutuhan nafkah keluarga. Maksudnya, insentif dan atau apalah istilahnya, diharapkan dapat menjadi motivator dan pembangkit semangat guru mengaji.

Menyisihkan atau menganggarkan sedikit persen APBD saja untuk suksesnya program ini, bagi masyarakat sudah merupakan gerakan yang sangat luar biasa manfaatnya yang bakal dikenang dan itu mampu maraup perolehan suara PILKADA. HEHEHEHE ..... PILKADA lagi PILKADA lagi. Ini benar lho..... Bukan rayuan gombal a la balon (bakal calon). Ini lantaran sebagian besar orang tua sekarang sangat ingin anak-anak mereka mahir membaca al-Qur'an, sementara guru mengaji mulai langka.
Jika semua jenjang pendidikan dari SD, SLTP dan SLTA diharuskan mempelajari al-Qur’an seperti dikemukakan oleh pejabat pemerintah di Kabupaten Mamuju baru-baru ini pula,  kita berharap kiranya program ini segera diwujudkan dari pada hanya menjadi wacana dan bahan diskusi. Mudah-mudahan kita serius.

Ada pula masukan dan saran yang menggelitik bahwa jangan sampai orang yang akan hendak membebaskan buta aksara, ternyata juga harus dibebaskan lebih dahulu.  Tidak apalah memang kenyataannya demikian. Niat memperbaiki diri dan orang lain, merupakan kekuatan dan spirit yang harus kita miliki bersama demi sesuatu yang sangat besar.

Demikian pula, semoga setiap yang membaca posting ini tergerak ikut terlibat dalam gerakan pembebasan buta aksara al-Qur'an. Amien. Semoga Allah melapangkan hati ini mempelajari al-Qur'an, karena hanya dengan al-Qur'anlah dan hadis nabi saw, bukan yang lain, yang kelak menjadi pembebas  dari kesasatan dalam kehidupan dan pembantu (syafi'an) bagi kita nanti di sisi Allah swt.//Zul

Selasa, 21 Agustus 2012

Aqiqah: Antara Tradisi dan Syariah

Sebagai orang yang mengaku tunduk kepada Allah (muslim) dan meyakini akan kebenaran ajaran Islam (mukmin), maka segala ucapan, perbuatan  serta hal-hal yang berkaitan dengan kegaiban semestinya senantiasa mengikuti Syariat Allah swt dan syariat Rasul saw. Bukan karena hendak mengungkung kebebasan bertindak, berpikir serta berkreasi, akan tetapi sebuah pengakuan akan keterbatasan kita dan kemampuan  kepada hal-hal yang bersifat syar’iy. Selain itu, keinginan yang kuat memperoleh rahmat dan syafaat nabi saw, sehingga semaksimal mungkin kita berusaha mengikuti syariat. Hal ini mengharuskan kita mencari mana yang sebenarnya syar’iy (ada aturan syariatnya) dan mana yang bukan syar’iy alias tradisi dan budaya yang telah menyatu dengan pelaksanaan syariat Islam. Jika pencampuran itu, maksudnya pencampuran tradisi, budaya dan kebiasaan setempat itu, mencampuri dan menggeser substansi syariah, apalagi sampai menyentuh keimanan-keimnanan pokok dalam syariat, maka hal ini sebaiknya dievaluasi kembali. 

Masyarakat Mandar yang menyebar di Sulawesi Barat, patut diacungi jempol bahwa semangat dan keinginan melaksanakan syariat Islam tinggi, - meskipun patut diberi catatan bahwa generasi sekarang sepertinya semangat itu mulai mengendor-  kadang-kadang tidak didukung oleh keilmuaan dan pengetahuan cukup mengenai syariat dan batas-batasnya. Ini pada akhirnya menyangka tradisi yang berjalan selama ini adalah syariah Islam, padahal bukan. Sebaliknya, boleh jadi ada Syariah Islam secara substantif, tetapi dianggap tradisi dan kebiasaan masyarakat. 

Nah…… percampuran syariah dan tradisi ini dalam masyarakat, alangkah bagusnya jika sewaktu-waktu kita mencoba menelaah bukan berdasarkan kebiasaan dan tradisi, tetapi kita mencobat mengkajinya berdasarkan tuntunan Allah dalam al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah saw dalam hadis-hadisnya. 
Kali ini, saya menulis persoalan aqiqah yang telah membudaya dan itu alhamdulillah, tetapi sesungguhnya pelaksanaan aqiqah menurut sunnah nabi saw, harus kita ketahui. Posting ini, telah saya sampaikan dalam ceramah hikmah aqiqah di rumah keluarga Ust Drs. Musram dan Hasnah S.Pd di Pasa'bu, Rabu tanggal 22 Agustus 2012. 

Di tengah masyarakat umumnya penyebutan aqiqah saja beragam. Ada yang menyebut hakikah,  aqeqaq, dan sebutan lainnya. Ini sebuah sinyal  kelalaian umat ini mempelajari sunnah nabi saw, hal itu terlihat dari cara penyebutannya saja tidak betul. Lidah Mandar menyebutnya “maaqeqa” maksudnya melaksanakan syariat aqiqah. Sebutan yang benar adalah ‘aqiqah. Sebenarnya, sebagian istilah penyebutannya tidak harus sama dengan bahasa  asalnya, seperti kata aqiqah  ini juga, namun paling tidah mendekatilah. Misalnya sebutan "maaqeqah, masih wajar, tetapi sebutan hakikah dapat dikategorikan tidak wajar karena jauh dari asal penyebutannya dan sudah pasti dari segi artipun pasti jauh.
Secara lugawi (segi bahasa), aqiqah artinya memotong atau memutus, juga bermakna rambut di kepala bayi yang baru lahir. Aqiqah mengandung arti memutus itu dikaitkan kepada pemutusan kerongkongan kambing (menyembelihnya) saat pelaksanaan aqiqah. Aqiqah mengandung arti rambut bayi yang dibawa dari rahim ibu,  inilah arti asal sebagaimana pendapat Az-Zamakhsyari.(catatan kakinya menyusul). 

Adapun aqiqah menurut istilah syariah adalah sembelihan kambing atau domba yang dilaksanakan pada hari ke 7.  


Secara kongkrit pelaksanaan aqiqah dilukiskan hadis nabi saw di bawah ini:
Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (HR: Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Inilah hadis yang secara khusus menyebutkan tata cara pelaksanaan syariah aqiqah sehingga penulis kitab Subulussalam secara khusus menukil dan mengomentarinya. (lihat kitab Subulus salam oleh Imam As-Shan’aniy)

Uraiannya sebagai berikut:
1                 1.   Pada hari ke 7 menyembelih kambing dengan niat aqiqah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Sembelihan kambing atau domba ini bisa dimasak kemudian mengundang sanak family atau teman dan tetangga, bisa pula disedekahkan dagingnya  yang masih mentah.
                 2. Mencukur rambut bayi yang baru lahir
3              3.  Memberi nama yang islami, tentunya.
Selain yang disebutkan secara berurut di atas, merupakan tambahan dan pelengkap. Intinya hanya tiga jenis kegiatan di atas. Tambahan kegiatan boleh dikerjakan juga boleh tidak, kecuali jika tambahan itu melanggar ketentuan nabi saw, tentu meninggalkannya lebih utama.

Dalil-dalil Pelaksanaan
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad]
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah]
Anak-anak itu tergadai (tertahan) dengan aqiqahnya, disembelih hewan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya dan diberi nama.” [HR Ahmad]
Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Riwayat Bukhari]
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [HR Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad]

Hukum Aqiqah Anak adalah sunnah (muakkad) sesuai pendapat Imam Malik, penduduk Madinah, Imam Syafii dan sahabat-sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama ahli fiqih (fuqaha).
Dasar yang dipakai oleh kalangan Syafii dan Hambali dengan mengatakannya sebagai sesuatu yang sunnah muakkadah adalah hadist Nabi SAW. Yang berbunyi, “Anak tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya)”. (HR al-Tirmidzi, Hasan Shahih)
“Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkan (penebus) darinya darah sembelihan dan bersihkan darinya kotoran (Maksudnya cukur rambutnya).” (HR: Ahmad, Al Bukhari dan Ashhabus Sunan)
Perkataan: “maka tumpahkan (penebus) darinya darah sembelihan” adalah perintah, namun bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban yaitu: “Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka silakan lakukan.” (HR: Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan).
Perkataan: “ingin menyembelihkan,..” merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunnah.
Imam Malik berkata: Aqiqah itu seperti layaknya nusuk (sembeliah denda larangan haji) dan udhhiyah (kurban), tidak boleh dalam aqiqah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit. Imam Asy-Syafi’iy berkata: Dan harus dihindari dalam hewan aqiqah ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan dalam qurban.

Buraidah berkata: Dahulu kami di masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu. Maka setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur (menggundul) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak wangi. [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 107]
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka ber’aqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah ‘aqiqah, lalu ketika mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya”. Maka Nabi SAW bersabda, “Gantilah darah itu dengan minyak wangi”.[HR. Ibnu Hibban dengan tartib Ibnu Balban juz 12, hal. 124]
Pelaksanaan aqiqah menurut kesepakatan para ulama adalah hari ketujuh dari kelahiran. Hal ini berdasarkan hadits Samirah di mana Nabi SAW bersabda, “Seorang anak terikat dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan aqiqah pada hari ketujuh dan diberi nama”. (HR. al-Tirmidzi).
Namun demikian, apabila terlewat dan tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, ia bisa dilaksanakan pada hari ke-14. Dan jika tidak juga, maka pada hari ke-21 atau kapan saja ia mampu. Imam Malik berkata : Pada dzohirnya bahwa keterikatannya pada hari ke 7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya menyembelih pada hari ke 4 (empat) ke 8 (delapan), ke 10 (sepuluh) atau setelahnya Aqiqah itu telah cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah memudahkan bukan menyulitkan sebagaimana firman Allah SWT: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS.Al Baqarah:185)
Pelaksanaan aqiqah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi SAW, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (HR: Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)

Dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, beliau berkata yang artinya: “Hewan aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, ke empat belas, dan ke dua puluh satu.” (Hadits hasan riwayat Al Baihaqiy)
Namun setelah tiga minggu masih tidak mampu maka kapan saja pelaksanaannya di kala sudah mampu, karena pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh, ke empat belas dan ke dua puluh satu adalah sifatnya sunnah dan paling utama bukan wajib. Dan boleh juga melaksanakannya sebelum hari ke tujuh.

Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan aqiqahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam kandungan ibunya.//Zul..

.

Minggu, 19 Agustus 2012

Shalat Idul Fitri 1433 H di Lapangan Tapalang Kab. Mamuju


Lebaran Idul fitri kali ini saya senang. Ramadhan  1433 H yang bertepatan dengan tahun 2012 ini, saya sekeluarga fokus di Taparia, rumah orang tua. Berbeda dengan dua tahun sebelumnya, kami berpuasa di Makassar karena sedang menyelesaikan kuliah strata (S2)  selama dua tahun di UIN Alauddin Makassar. Lebih bergembira karena umat Islam serentak merayakan Idul Fitri  hari Ahad tanggal 19 Agustus 2012. Kita berharap semoga hari raya ke depan tidak ada lagi perbedaan, sehingga umat Islam kelihatan kompak dan bersatu. Idealnya memang demikian.

Usai melaksanakan puasa hari Sabtu (18/08), besoknya, hari Ahad, saya dan keluarga mengikuti shalat idul fitri di lapangan Tapalang, Kec. Tapalang Kab. Mamuju. Pengamatan saya shalat Idul Fitri di Lapangan Tapalang kali ini, jumlahnya lumayan dipadati jamaah, laki-laki maupun jamaah perempuan.  

Sebagimana shalat Idul Fitri di tempat lain, susunan acara pelaksanaan hari raya di lapangan Tapalang, dimulai dengan gema takbir dari panitia diikuti oleh sebagian jamaah. Selanjutnya, secara formal pembawa acara membuka pelakasanaan shalat idul Fitri dengan bacaan basmalah, dilanjutkan dengan sambutan dari Camat Tapalang, penyampaian tata cara pelaksanaan shalat Ied, kemudian Shalat Idul Fitri dan terakhir khutbah Idul Fitri. Suasana shalat idul fitri hemat saya sebaiknya dilaksanakan di lapangan, selain karena pertimbangan syariah, seperti diketahui Nabi Saw. sepanjang hidupnya lebih banyak melaksanakan shalat ied di lapangan terbuka daripada di rumah.  Ternyata syiar Islam dan persatuan, kekompakan napak dalam tubuh umat Islam. Buat saya sendiri, shalat ied yang dikerjakan di masjid atau mushalla  berasa shalat jum'at saja, sehingga saya dan keluarga menuju lapangan Tapalang Galung Kab. Mamuju
Beberapa foto jamaah shalat Idul fitri di lapangan Tapalang dapat dilihat sebagai berikut:   



















Sabtu, 18 Agustus 2012

Maaf Itu di Hati Bukan di Lidah


Setiap memasuki lebaran Idul Fitri kita sering mendengar kata maaf. Betapa setiap orang mudahnya  mengucapkan maaf. Entah meminta maupun memberi maaf. Kata maaf memang urusan yang sangat penting dalam beragama. Itu karena memberi atau meminta maaf merupakan prosedur pembersihan diri, diri pribadi, diri sosial dan diri primordial di hadapan Allah swt. 

Judul posting kali ini seperti aneh. Mana mungkin maaf dapat didengar dan apresiasi teman, handaitaulan dll,  kalau tidak dilidahkan  alias diucapkan. Ok. Saya setuju dengan itu. Judul ini hanya hendak menyampaikan bahwa memberi dan meminta maaf sebenarnya bukan urusan di lidah semata kemudian jabatan tangan saja. Tetapi memberi dan meminta maaf lebih besar menjadi saham hati daripada hanya penghias bibir belaka. 

Pikiran ini muncul mengingat zaman sekarang segalanya serba formal, dan formalitas itu letaknya di lidah. Bahkan kata maaf dapat bermakna “pilihlah saya” menjelang pilkada, biasanya hehehe…… . kalu ndak percaya, silahkan Tanya pada caleg saat memasang poster atau baliho ‘minta maaf”. Kalau seseorang telah mengucap maaf, telah dianggap memberi dan meminta maaf. Kalau belum berarti belum juga memberi atau meminta maaf.  

Nah……. Karena maaf itu urusan hati, sebenarnya meminta maupun memberi maaf bukan perkara yang ringan. Memberi dan meminta maaf adalah perkara yang sangat berat bagi dan kejernihan pikiran. Sangat jauh dari makna pepatah menggunting dalam lipatan, atau menjual kucing dalam karung, jauh, jauh sekali.  Maaf adalah kerelaan menghapus, menghilangkan, membuang, melupakan dll  kata yang sejenisnya kesalahan, noda, cacat dan aib teman-teman. Kata ‘afwun yang menjadi sember kata maaf dalam bahasa Arab, sebagian maknanya adalah penghapusan, anugerah, kebaikan,spontan atau secara otomatis.(Lihat Kamus Kontemporer Arab Indonesia Al-‘Ashriy). Jika makna-makna itu diramu, sebenarnya kata maaf adalah pekerjaan hati yang mampu menghapus bekas-bekas kesalahan teman. Dan , sekali lagi bukan pekerjaan mudah baik meminta ataupun memberi maaf. Dengan kata lain prilaku masa lalu diputihkan - menggunakan istilah transaksi keuangan -  sehingga tidak tersisa lagi rasa bersalah, marah, dengki,  dan sejenisnya. Tentu ini adalah pekerjaan hati yang sangat berat seperti telah ditulis di muka. Selain itu, setelah memutihkan kesalahan dan aib teman, kita menggantinya dengan berbuat baik, wow ….. ini tentu lebih berat. Apalagi jika kesalahan itu sangat menyentuh dan melukai hati, sehingga setiap ingat dia pasti terbayang dan langsung terasa sakit. 

Sebagai gambaran betapa berat kata maaf itu, mungkin pembaca pernah mendengar sumpah serapah: “sampai mati saya tidak akan maafkan”. Dan, tidak bisa, begitu mengucap maaf, secara otomatis luka hati hilang dan sembuh. Yang lazim kita lakukan, memang baru sebatas memberi atau meminta dengan lidah murni, namun sebenarnya diam-diam masih menyimpan kesalahan-kesalahan itu, dan sewaktu-waktu jadi senjata yang lebih berat lagi atau jadi bom waktu yang mampu memporak-porandakan ikatan silaturahim lebih parah lagi. 

Menurut konsep al-Qur’an, kisah Abu Bakar As-Shiddiq secara spontan akhirnya  mau memberi maaf pembantunya, Misthah, yang ikut serta menyebar fitnah terhadap Rasulullah dan putrinya Aisyah ra, murni karena keinginan kuat mengharap ampunan Allah swt. Hanya orang-orang yang menginginkan ampunan dan rahmat Allahlah  saja yang mampu memberi dan meminta maaf secara tulus  seperti dicontohkan Abu Bakkar ra. (Silahkan periksa ayat 9 s/d 22 surat An-Nur) Keinginan memperoleh ampunan  dan magfirah Allah swt, mendorong Abu Bakkar ra. secara jujur menghapus kesalahan-kesalahan orang lain. Itu karena kebersihan yang diajarkan Islam berdimensi ganda, bersih di hadapan sesama dan bersih di sisi Allah swt. Keutamaan dan kemuliaan bersih di sisi Allah yang terpatri dalam jiwa yang bersih, mampu meringankan jiwa menghapuskan kesalahan dan aib pasangan hidup, orang tua, guru, tatangga, teman dan bahkan ‘musuh’ sekalipun. Kalau hanya karena pertimbangan lain, misalnya, demi karier, demi jabatan, demi harga diri, demi pemilih dalam pilkada, dan ratusan demi-demi lain selain demi Allah swt, rasa-rasanya tidak mungkin memberi dan meminta maaf seperti Abu bakkar as-Shiddiq tersebut. Ini bukan mendahului taqdir, kata orang tua. Cuma ini suara hati yang bening, jujur, ingin tulus dan berusaha melepaskan daki-daki dari hati. 

Bagaimana? Mampukah kita memaafkan? Atau masih harus berpura-pura lagi. Itu terserah pembaca. Kalau boleh minta tolong, kalau boleh menitipkan sesuatu pada pembaca posting ini, saya minta tolong doakan semoga hati ini mampu memikul kata MAAF yang ditelah dipikul Abu Bakkar ra itu. Ok//Zul   

Jumat, 17 Agustus 2012

Keluarga Prof. Dr. H. Sukaji Sarbi MS Peraih Juara 1 Kelurga Sakinah Tingkat Nasional

Keluarga sakinah Prov. Sulbar

Satu  lagi kebanggaan warga Sulbar. Sebuah pasangan keluarga meraih juara pertama keluarga sakinah tingkat nasional 2012. Perolehan penghargaan yang membanggakan ini patut diapreseasi oleh warga Sulbar, secara khusus warga Kemenagri Sulbar. Pasangan suami isteri bernama Dra. Hj.Ngatijem dan Prof. Dr. H. Sukaji Sarbi MS dengan nilai 632 sekaligus meraih hadiah  Rp. 25 juta, demikian berita yang ditulis situs Kemenagri Pusat Jakarta.  
 
Tanpa mempermasalahkan asal suku, yang pasti warga Sulbar memperoleh nama harum di NKRI. Namun dari dari ejaan nama yang disandang, saya menduga 99,99 %  suku Jawa yang menetap di Sulbar. Hehehe……. Kebetulan keluarga saya juga suku Jawa, dan sedikit banyak tahu tentang identitas nama-nama jadul (jaman dahulu) di Jawa sana.  Sekalipun demikian tetap saja warga Sulbar memperoleh nama yang mengharumkan Prov. Sulbar.
Sebagai warga Sulbar yang telah berumah tangga sekitar 10 tahunan dan bekerja di Kemenagri Sulbar, pasti penasaran mengetahui rahasia dan riwayat, paling tidak, profil keluarga Sakinah satu ini. Selesai membaca berita ini, saya spontan tergerak menulis posting ini, sebagai apreseasi yang buat saya sekaligus patut dicari informasinya di dunia maya. Karena berkunjung langsung ke rumah keluarga pak Prof. Sukaji,  dan bertanya langsung butuh waktu dan tenaga, apalagi masih dalam bulan penuh berkah, Ramadhan 1433 H. Saya coba berlayar dan mencari tahu, saya tak menemukan riwayat dan profilnya. Alangkah bagusnya kalau situs kemenagri Sulbar misalnya,  coba menuliskan gambaran dan profil keluarga satu ini, sehingga secara riel diketahui oleh khalayak umum. Apalagi jika pencanangan keluarga sakinah sedang digalakkan.  Mudahnya, saya ingin mengetahui profil, riwayat dan kriteria yang dijadikan tolok ukur dalam perolehan juara ini. Kepada yang terhormat keluarga Bapak Prof. Dr. H. Sukaji Sarbi MS, mungkin juga sempat membaca posting ini, saya akan sangat senang jika beliau membagikan informasi tantang rahasia keberhasilan ditokohkan sebagai pasangan keluarga sakinah. 
Dugaan saya, sekali lagi saya ulangi, di luar sana, banyak yang ingin mengetahuinya agar menjadi cermin dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Secara umum, pastilah setiap keluarga memiliki pasang-surut dalam senang-susah, menangis-tertawa, berkecukupan-kurang dalam hal materi dll, tetapi yang lebih penting diketahui adalah cara mengatasi atau keluar dari belitan persoalan dengan tetap senang.Atau mungkin sebagian pembaca banyak tahu tentang profil pasangan keluarga yang dimaksud, kiranya rela membagikan ilmu dan pengetahuannya. Sekian dan terimakasih. Salam jempol buat kelurga Bapak  Prof. Dr. H. Sukaji Sarbi MS.//Zul

Kamis, 16 Agustus 2012

Hikmah Nuzulul Qur'an 1433 H di Masjid Nurul Huda Pasa'bu: Mengambil Manfaat dan Berkah Al-Qur'an

Tulisan berikut ini adalah ceramah yang saya sampaikan di Masjid Nurul Huda Pasa’bu kecamatan Tapalang barat dalam memperingati turunnya al-Qur’an tahun 1433 H. Setelah memeberi salam, memuji Allah dan bersalawat atas nabi Muhammad saw, secara ringkas saya ceritakan riwayat turunnya al-Qur’an pertama kali. Al-Qur’an turun pertama kali seperti telah umum di pahami di Indonesia, terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Antara lain;  sebelum nabi saw menerima wahyu pertama, beliau telah melakukan tahannuts (beribadah dan  bertafakkur dan merenungi ciptaan Allah swt). Riwayat yang terdapat dalam kitab Imam Bukhari dengan rinci bercerita tentang permulaan wahyu ini, sampai isteri beliau, Khadijah menemui seorang pendeta, karena kekhwatiran dan rasa penasaran tetntan apa saja yang terjadi pada diri nabi saw, suaminya tercinta. 

Selanjutnya, apa hikmah atau manfaat yang diinginkan Allah swt, dalam menurunkan al-Qur’an. Atau dengan pertanyaan lain, apa sesungguhnya misi yang hendak disampaikan al-Qur’an? Sesungguhnya, misi yang sangat agung dalam nuzulnya (turunnya) al-Qur’an adalah menjadi petunjuk dan pedoman hidup umatnya. Selain itu, secara rinci, masih banyak manfaat lain yang dapat disauh dari telaga al-Qur’an, demi perbaikan dan kemaslahatan manusia, secara lahir dan batin.
Dalam mempelajari al-Qur’an, terdapat nama-nama lain yang disandarkan kepada al-Qur’an. Nama-nama itu merupakan sifat dan dan taujih (bimbingan) yang sebenarnya sangat dibutuhkan umat manusia. Selain membacanya mendapatkan pahala dan berkah secara langsung, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis nabi saw, namun terdapat nama lain seperti Syifa’, Furqon, Rahmat, Hakiim, Mubarak dan lain-lain, yang semuanya dapat membimbing kehidupan manusia.  Paling tidak saya mengemukakan beberapa saja yang coba kita urai, antara lain: Syifa’

Allah swt berfirmandalam surat Al-Isra’ ayat 82:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَاراً ﴿٨٢﴾
Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah me nambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.

Secara sederhana syifa’ mengandung arti penawar atau penyembuh. Menurut Kamus  Lisan al-Arab syifa’ adalah sesuatu yang menyembuhkan penyakit (Lihat Kamus Lisan al-‘Arab kata  شفي ) Al-Qur’an benar-benar dapat menjadi obat yang menyembuhkan. Tentu saja obat di sini bukan obat gatal-gatal, obat dan obat penyakit kulit lainnya, sekalipun tidak tertutup kemungkinan penyakit fisik dapat sembuh yang merupakan akibat jauh dari penyembuhan ruhani. Maksudnya, setelah jiwa dan spirit diterapi dan disembuhkan, maka secaro otomatis akan berpengaruh baik bagi kesehatan fisik.  Terus jenis penyakit ruhani apa dan bagaimana cara penyembuhan al-Qur’an terhadap penyakit tersebut?  Semua penyakit jiwa yang sekian banyak di era modern ini, dari stress, depresi, bimbang, galau, dengki, iri, dan penyakit jiwa lainnya,  benar- benar dapat disembuhkan al-Qur’an. Syarat penyembuhan itu juga sederhana saja, pertama, rela menerima resep al-Qur’an (baca: beriman kepada kitab ini, itu pasti) kemudian yang kedua, melaksanakan resep-resepnya. 

Seorang peneliti pernah mengemukakan bahwa umat yang langsung dibimbing oleh nabi saw. tidaklah berlimpah harta dan kemewahan seperti era modern ini, tetapi jiwa mereka sangat ringan dan sangat berbahagia. Ini terjadi karena keimanan mereka kepada Tuhannya benar-benar di atas segala-galanya. Iman mereka lebih penting dari pada semua yang kita banggakan hari ini, yang kalau hilang mengecewakan juga akhirnya. Jiwa mereka adalah jiwa yng bersandar  kepada pemberi materi bukan kepada materi. Hidup mereka lebih yakin kepada janji Allah swt daripada  apa saja dalam genggamannya. Pada akhirnya, resep dan konsep al-Qur’an benar-benar bekerja sehingga seluruh penyakit jiwa yang berasal dari dan untuk kebendaan terpangkas seluruhnya. Apakan ini bermakna tidak perlu mengurus dan memikirkan kebendaan dan segala harta dan kebanggaan lainnya? Tidak, sekali lagi tidak. Mereka para sahabat binaan nabi saw, juga hidup secara wajar dan mengalami pasang – surut, untung-rugi, kaya dan miskin, tetapi keimana  dan tawaajuh  mereka hanya kepada Yang memberi hidup da semuanya.
Selain itu, konsep al-Qur’an tentang jiwa yang damai dan bahagia, benar-benar sebuah resep jitu dan sangat obyektif diakui oleh lawan lebih-lebih kawan. Bayangkan saja, Al-Qur’an menganjurkan adil, amanah, jujur, qanaah, tawadhu dll.  Semuanya sifat- mahmudah tersebut dan lain-lain  yang tidak sempat disebut sata persatu, merupaka sifat positif yang berfungsi sebagai pemelihara, penumbuhkembang, pengawal, dan pembersih jiwa dan ruhani manusia. Semua sifat – sifat positif itu berakar dan berpangkal dari dan di dalam iman kepada Allah swt. 

Sebaliknya, bohong, gibah, namimah, fitnah, sombong, kikir, boros dll, adalah sifat yang mengerdilkan jiwa dan fisik pelakunya. Ini diakui oleh penelitian demi penelitian mutakhir, dapat diketahui jika pembaca rajin membaca penelitian terbaru tentang jiwa dan pengaruhnya  kepada badan, atau sebaliknya perbuatan dan perilaku positif dan negatrif dan pengarunya kepada pertumbuhan fisik.  Dengan ungkapan lain, terdapat hubungan timbale-balik antara perilaku fisik dengan jiwa atau sebaliknya. 

Bagaimana konsep al-Qur’an bekerja sebagai obat penyembuh? Jawabannya seperti disebutkan di atas, yaitu ketika iman, konsep, misi, kandungan, perintah dan larangan Allah bekerja secara optimal dalam pribadi seseorang. Sekali lagi, hanya dengan cara itu, dijamin kita mampu mengambil manfaat sangat besar al-Qur’an. Oleh karena itu, tidak dapat ditawar, wajib membaca, mempelajari dan memahami dan mengamalkan secara konsekwen. Konsep al-Qur’an tidak akan bekerja dengan baik, jika hanya mengandalkan perolehan pahala saat membaca kemudian selesai. Tidak  mungkin dan tidak dapat kita mengambil manfaat dari sebuah konsep yang hanya dibaca, termasuk al-Qur’an. Inilah yang patut direnungkan dalam rangka memperingati nuzul Qur’an. Pertanyaan selanjutnya, apakah tidak baik dan tidak berpahala membaca al-Qur’an?  Baik dan berpahala, akan tetapi itu tidak titik. Masih ada kewajiban selanjutnya selain hanya membacanya. Jika membaca dari dulu sampai sekarang hanya untuk memperoleh pahala dan kebaikan dengan hanya membacanya, kemudian dianggap cukup, inilah rahasia mengapa kita tidak mampu menguak makna sejati al-Qur’an. Bahkan pada akhirnya, seluruh bacaan kita akan melaknat diri sendiri? Ya, itu sangat mungkin , karena al-Qur’an bukan jimat, bukan jampi, bukan mantra dipahami atau tidak dapat memberi manfaat , itu menurut orang yang suka membaca mantra-mantra.

Saya cukupkan dulu posting ini, lanjutannya akan saya tulis pada posting selanjutnya. Semoga yang sedikit ini mampu menggugah kesadaran kembali  mempelajari al-Qur’an untuk diamalkan sehingga terpenuhilah, kalimat yang sering kita ucapkan; Al-Qur’an adalah pedoman hidup kita. Lanjutannya nanti postingan selanjutnya. Semoga.//Zul

Sabtu, 11 Agustus 2012

Renungan & Nasihat seputar Perbedaan Awal Ramdhan dan penetapan Hari Raya

Banyak kalangan telah menerima perbedaan soal awal Ramadhan dan  hari raya idul Fitri/Idul Adha selama beberapa tahun terakhir. Bahkan perbedaan tersebut hampir telah menjadi syariat tersendiri yang harus ditanamkan dalam diri umat. Padahal sebenarnya dengan menggunakan analisa dan ijtihad apapun, sesungguhnya setiap kita pasti sangat menginginkan tidak lagi terjadi perbedaan itu. Dengan dalih  dan dalil apa saja, dengan alat  hitung atau alat rukyat canggih atau kurang canggih, sesungguhnya umat ini sangat merindukan penyatuan awal puasa dan penetapan hari raya. 

Saat menulis posting ini, hari raya idul fitri 1433 H kurang lebih satu pekan lagi. Di mana-mana telah ramai dibincangkan; hari raya kali ini tidak ada perbedaan, ada pula yang masih membuka kemungkinan terjadinya perbedaan. Saya sendiri kadang merenung, apa sesungguhnya yang mengharuskan kita berbeda? Tidak adakah cara yang kita tempuh atau sudah tertutupkah kemungkinan untuk tidak mengulangi kembali perbedaan tersebut? Menjawap dua pertanyaan di atas tentu jawaban saya dengan anda pembaca mungkin saja berbeda. Kali ini coba saya akan mancari jawaban, kiranya dapat menjadi renungan. Jawaban ini, bukan menghakimi pendapat yang telah berkembang, bukan pula memihak ormas tertentu. Semata-mata uraian ini coba secara jernih

Menjawab dua sekaligus pertanyaan di muka: Benda-benda langitkah yang berotasi itu, alat hitung dan alat rukyahkah, tingkat ilmu pengetahuan dan  wawasan dan pengalaman  berbedakah dan lain-lain yang tidak perlu disebut satu persatu. Hemat saya seluruhnya bukan itu semua. Bukan karena hitungan derajat, bukan pula rukyatul hilal termasuk bukan pula karena perbedaan ilmu dan pengetahuan antar pribadi dan antar ormas. Sekali lagi bukan. Dan, memang Allah swt, membekali dengan pengetahuan-pengetahuan mengenai semua  itu bukan untuk dibenturkan dalam percaturan pendapat serta ijtihad orang perorang atau  ormas. Sesungguhnya, sekali lagi sesungguhnya sebab utama dan pertama perbedaan itu, adalah karena di hati kita memang sudah tertanam embrio perbedaan yang lebih dekat kepada  sikap lebih mengunggulkan pribadi, pendapat, ormas, kelompok dll. Dan sikap ini, sebenarnya bukan gejala persatuan demi kemaslahatan atau rahmat, seperti sebagian orang berkata bahwa perbedaan adalah rahmat. Sikap tersebut merupakan sebagian dari bisikan ananiyah syaithoniyah yang semestinya  tidak bersemi di dalam  hati seorang mukmin yang mukhlish

Kita dapat berbeda dalam hitung-hitungan, dapat pula berbeda pada kecanggihan alat rukyat atau mungkin kitab-kitab yang kita pedomani berbeda. Namun demikian, meskipun kita berbedan dengang semua itu, kita masih sangat mungkin mempersatukan perbedaan itu dalam sikap dan tindakan. Dengan ungkapan sederhana, jika si M bersikukuh menetapkan angka 1,  misalnya, sedangkan si N berpendapat  ¼ (seperempat),  yang tidak dapat ditawar karena itulah hasil ijtihad masing-masing dengan biaya besar, sekali lagi misalnya.  Maka demi persatuan dan kemaslahatan umat, dan itu sangat dianjurkan al-quran dan hadis nabi Muhammad saw,  kita dapat menyikapi perbedaan itu dengan sikap kita bersepakat pada angka  ½  (setengah). Itu sangat bisa, karena sikap kita merupakan  cerminan dari ilmu dan kebijakan  serta kearifan  bersikap demi sesuatu yang lebih besar nilai maslahatnya. Dengan kata lain, kita berbeda selama ini, bukan karena gejala alam, atau karena hasil ijtihad, ilmu dan pengetahuan, tapi gejala hati dan keikhlasan sedang defisit. Jika anda telah menetapkan putih sedangkan saya memutuskannya hitam,  misalnya, maka demi kemaslahatan sebagai spirit sosiolgis Islam yang kita imani, apa yang salah atau siapa yang sanggup mempersalahkan jika kita mau bersepakat dalam warna buram/antara putih dan hitam. Tegasnya, ika Ormas Muhammadiyah telah menetapkan hari idul fitri, sedangkan Ormas NU menetapkan sebelum atau sesudahnya atau sebaliknya, hanya perbedaan dalam hitungan derajat, mengapa kita harus berbeda. 

Sekali lagi hanya beda beberapa derajat posisi bulan, sesungguhnya dengan sikap ikhlas demi persatuan yang pasti membawa maslahat besar, pasti kita dapat menetapkan satu waktu dalam hitungan-hitungan derajat itu. Tapi ya, itu tadi, dibutuhkan iman dan jiwa yang arif, bijaksana, ikhlas  dan sifat-sifat mahmudah lainnya, yang kita akui telah bersemi dalam diri. Dengan sikap tasamuh seperti itulah memang menunjukkan bahwa sifat-sifat mahmudah itu telah terpatri dalam diri.//Zul