Selasa, 08 Mei 2012

Ujian Nasional: Menyaring atau Meluluskan

Kalau ingat ujian nasional (UN) agak tegang juga. Mungkin karena pengalaman menjadi peserta ujian telah beberapa kali. Meskipun semua menganjurkan tenang dan semangat, tetapi tegang tetap saja datang bersemi. Barangkali karena fokus mengingat lulus apa nggak ya? Ujian nasional memang merupakan puncak perjalanan siswa di sebuah jenjang pendidikan.

Ujian sekolah, mulai dari Ujian Nasional (UN) Ujian Akhir Sekolah (UAS) Ujian Semester, Ujian tengan semester, ulangan harian dll, adalah pekerjaan rutin yang melibatkan guru dan siswa. Selama ini kita beranggapan ujian-ujian itu bertujuan menyaring siapa yang pantas lulus dan siapa yang belum pantas. Penulis meyakini seperti itu pula. Belakangan  karena persaingan antar sekolah, menjaga prestise dan nama sekolah, guru, pengawas, kepala cabang dinas, kepala dinas,Camat, Bupati, Gubernur dst..... simpulannya demi menjaga reputasi masing-masing, begitu istilah kerennyalah. Demi menjaga kedudukan semua yang terhormat itu, ujian akhirnya dapat lebih bermakna untuk lulus. Ujian diselenggarakan hampir bukan lagi untuk menyaring siapa lulus dan siapa tidak lulus, tetapi lebih dekat kepada makna meluluskan siswa atau peserta ujian. Indikatornya seperti sering dikeluhkan bahwa guru sekarang terlibat jauh sebagai peserta ujian (baca: membantu menjawabkan soal-oal ujian) peserta didiknya. Maksudnya, ya itu tadi demi reputasi guru, sekolah, nilai sekolah dll di hadapan atasan dan di mata lingkungan sekolah. Betapa malu, kalau siswa kita  lebih banyak yang tidak lulus daripada yang lulus.........begitu kira-kira keluhannya.

Maka ujian  sebenarnya bukan sekedar meluluskan siswa, melainkan ia juga mempertaruhkan pekerjaan yang telah dilakukan guru-guru dan pihak sekolah selama satu tahun. Ini dipahami demikian mengingat ketidaklulusan siswa-siswi dapat berarti kegagalan kerja sebuah lembaga pendidikan.  Sebaliknya jika 100 % kelulusan, maka banyak yang bertepuk tangan gembira, dari siswa peserta ujian sampai ke pada gubernur ikut bangga dengan prestasi anak didik di daerah. Luar biasa prestasi pemimpin ini, kepala ini, kepala itu dll.

 Adapun siswa apakah benar-benar lulus itu urusan lain.Maksudnya siswa benar telah memahami plus menguasai bahan ajar, bukan perkara utama. Lulus dulu, itu yang penting. Karena harus lulus, guru akhirnya terpaksa atau mungkin juga dipaksa oleh pihak tertentu, dalam proses ujian. Modelnya tentu macam-macam, mulai bantuan langsung saat ujian, bantuan lewat pengawas, mendongkrak nilai dari semestinya, dll yang merupakan pelanggaran dalam penyelenggaraan ujian nasional. Maka judul posting kali ini, ujian sekolah: untuk menyaring siswa yang lulus dan siswa yang gagal atau  memang bermaksud untuk meluluskan, pantas diangkat sebagai tema diskusi berbagai forum lembaga kependidikan.Point pertama, jika ujian diselenggarakan untuk menyaring itu artinya harus bekerja secara jujur, sporti dan bertanggung jawab sehingga tidak perlu membantu siswa. Biarkanlah ujian berjalan secara alami, demi mencari kualitas yang obyektif. Cara ini resikonya lumayan besar, lantaran ketidaklulusan mungkin lebih besar jumlahnya, atau paling tidak, kita tidak mendengar bahwa sebagian besar sekolah 100 % kelulusannya. Selain itu, jika point kedua dipilih, yakni bahwa ujian sebenarnya lebih bertujuan untuk meluluskan siswa, maka bisa jadi inilah fenomena-fenomena lembaga pendidikan secara umum, sehingga pelanggaran demi pelanggaran dalam ujian sering terjadi. Dua pilihan di atas adalah tanggung jawab kita semua, terutama lembaga-lembaga yang bergerak di lembaga kependidikan. Jika anda pembaca berprofesi sebagai guru, orang tua, masyarakat umumnya, mana yang anda pilih? Saya tunggu komentarnya.............Okey.//Zul

2 komentar:

  1. Bagaimanakah masyarakat harus menilai seseorang itu berjaya dalam aktiviti ilmunya, apakah ia harus melalui ujian-ujian ataupun hasilan ilmunya? Penilaian adalah merupakan suatu methode menguji keberkesanan pembelajaran dalam aktiviti akademik seseorang tetapi kejayaan seseorang dalam akademik tidak bermakna orang itu sudah bijak, pintar mahupun bodoh dan dungu. Seseorang yang boleh menghasilan dan mencipta setelah lulus dalam aktiviti akademiknya seharusnya dilihat sebagai memiliki potensi kepintaran. Maknanya, kepintaran seseorang tidak harus dinilai melalui keupayaan menjalani ujian-ujian institusi yang cemerlang kerana kecemerlangan seseorang sebaiknya dinilai melalui sumbangan dan hasilan sepanjang hidup. Andai ilmu itu memangnya hidup maka sumbangan dan hasilan itu adalah kecemerlangan ilmu.

    BalasHapus
  2. Trimakasih atas komentarnya.......... Hemat saya kejayaan pelajar seharusnya lahir dari seleksi obyektif, dan jujur sehingga secara alamiah muncul ilmuwan berkualitas. Dengan cara ini, kita berharap pengabdian secara benar dari ilmuwan tersebut. Namun jika proses perolehan ilmu dan gelar melalui proses tidak jujur, asal memperoleh gelar, misalnya, atau dengan membeli ijazah saja, ilmuwan jenis ini ,tentu lebih sulit diharapkan pengabdiannya. Benar pula ijazah tidak menjamin kejayaan seseoran dimasyarakat, namun sedikit sekali orang yang memiliki kulitas ini, dibandingkan dengan dengan ilmuwan yang lahir dari seleksi obyektif.... salam buat keluarga semua di malaysia pak.....

    BalasHapus