Rabu, 26 Oktober 2011

Guru wajib menjadi seorang psikolog

Terlalu banyak kasus psikologi yang menghadang seorang guru di sekolah. Sementara diklat perangkat pembelajaran yang menyangkut rpp, ktsp, kisi-kisi, bank soal dan sejenisnya terus digalakkan melalui berbagai pelatihan. Hemat penulis, tanpa mengurangi pelatihan yang disebutkan terakhir di atas, alangkah bagus dan sangat pas bagi guru jika pelatihan guru mendatangkan ahli psikologi. Sebenarnya seorang guru dengan modal sarjana telah pernah belajar psikologi pendidikan. Tetapi bahan dan masalah psikologi yang di hadapi seorang guru masih terlalu banyak dan besar dibandingkan dengan kapasitas keilmuan psikologi guru.
Oleh karena itu, guru sekali lagi sangat membutuhkan pelatihan  guru melalui pendekatan psikologi dengan mendatangkan pembicara fakar psikologi. Untuk hari ini, mungkin pelatihan sejenis ini lebih dibutuhkan daripada hanya pelatihan bagaimana taktik dan strategi mengajar yang dikenal dengan PBM an sich.
Entah mengapa, urusan sekolah yang sangat urgen ini, tidak mencuat sebagai arus utama diklat yang senantiasa digalakkan. Pelatihan jenis ini, semakin penting jika dilihat bahwa sebagian guru bermodalkan ijazah beli layaknya beli pisang goreng diwarung-warung pojok. Meskipun yang paling terakhir ini sangat rahasia, tetapi khan juga sangat umum.
Hemat penulis, terjadinya kenakalan dan tindakan amoral siswa sebagai tontonan umum, tidak tertutup kemungkinan, salah satu penyebabnya karena sentuhan pendidikan yang berdimensi psikologi tidak diperhatikan. Maksudnya, penanganan siswa dalam maupun di luar kelas, sebenarnya sangat membutuhkan analisis kejiwaan yang melibatkan  perasaan, emosi, gejolak jiwa sehingga problem solvingnya diberujung pada penyelesaian masalah yang melibatkan semua potensi kejiwaan, pihak siswa lebih-lebih guru sebagai pembimbing di sekolah.
Selama ini, guru secara umum masih menjalankan fungsi tranfer of knowledge yang berdimensi rasional, sementara transfer of value langka dilakukan. Guru tidak berbicara di hadapan tape rekorder atau kaset perekam yang bertugas menghapal dan menyimpan pelajaran kemudian cukup. Guru sebenarnya berbicara dengan atau dalam dirinya sendiri, dalam arti potensi-potensi psikologis yang dimiliki guru dan siswa sama saja. Gejolak kejiwaan dan reaksinya dalam PBM sebagai sebuah peristiwa psikologi jauh lebih besar peranannya daripada peristiwa rasional. Jika hal ini dipahami, lebih utama dirasakan, maka guru  tentu sangat peka dengan berbagai problem siswa-siswi. Guru diharapkan tidak hanya menilai karena pertimbangan rasional yang dangkal, kaku dan sempit, tetapi ia mesti berusaha menemukan jawaban-jawaban dari suara hatinya yang jujur mengenai reaksi kejiwaan sebagai seorang manusia, yang terdapat dalam diri setiap siswanya.//Zul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar