Lembaga pendidikan, lebih-lebih lembaga pendidikan dengan label Islam memiliki posisi penting dan dilematis. Penting karena lembaga ini adalah lembaga yang mengusung syiar Islam sebagai missi utama, tetapi dilematis karena kekurangan dan kesalahan yang tampak di hadapan publik, pasti menjadi sorotan tajam dan aktual.
Oleh karena dua pertimbangan di atas, lebih khusus guru madrasah MIN Botteng, mau tidak mau, rela atau terpaksa harus terdepan dalam kaitannya dengan syiar Islam di tengah masyarakat. Sebagian guru dapat berdalih bahwa jurusan dan mata pelajaran yang saya kuasai hanya mate-matika atau IPA dll. Tetapi masyarakat tidak tahu atau memang tidak mau dalih dan alasan semacam itu, karena dalam benaknya guru madrasah adalah guru agama, itu pertama. Kedua, istilah kementerian agama adalah nama yang menjadi merek jika disandingkan dengan kemenpora atau kementerian lain, tentu guru agama tetap sebagai guru agama.
Maka MIN Botteng, sebagai sebuah keluarga besar dalam satuan kerja (satker) adalah sekelompok masyarakat yang mengusung syiar Islam sebagai pilar utama bagi pendidikan, paling tidak dalam lingkup masyarakat sekitar madrasah.
Peran-peran di atas semakin kuat dan kokoh harus dipikul semua guru yang tergabung dalam satker ini, mengingat masyarakat di lingkungan MIN ini, sangat membutuhkan bimbingan bimbingan Islam. Hemat penulis, sekalipun diskusi dan bincang-bincang santai atau tampaknya tidak butuh bimbingan agama secara baik dan kontinyu, tetapi dalam relung-relung jiwa paling dalam, sangat membutuhkan. Kebutuhan mereka terhadap bimbingan agama secara baik dan benar tetapi tidak disukainya bagaikan seorang menelan obat pahit. Mereka sadar obat pahit, pahit tidak disenangi, tetapi pikiran sadarnya diam-diam berkata; sebenarnya kita harus minum obat demi kesembuhan. Hanya saja memang penyakit rohani jauh lebih sulit deteksinya dibandingkan dengan penyakit fisik, sehingga umumnya kita lebih membutuhkan dokter fisik dari pada dokter rohani.
Kembali ke soal MIN Botteng, kehadirannya secara ideal menyerupai kehadiran dokter di hadapan pasien. Pasien tentu sangat membutuhkan kehadiran seorang dokter. Sekali lagi kehadiran MIN Botteng laksana dokter yang berusaha mendiagnosa dan meresepkan obat yang sesuai bagi si sakit. Jangan sampai terbalik, si dokter datang membawa penyakit yang menambah penyakit baru pasien. Alih-alih meresepkan obat, justru membawa penyakit baru. Subhanallah ! Prinsip yang patut dipegang adalah seperti ungkapan Arab yang masyhur; Jika tidak mampu menjadi garam yang menambah kenikmatan, janganlah menjadi lalat yang yang membawa penyakit. Ungkapan ini sederhana tetapi sangat bijak dalam kaitannya dengan kehadiran seseorang atau lembaga tertentu, satker-dalam peristilahan kemenagri- agar perannya benar-benar memberi kemaslahatan. Dengan kata lain, jika tidak mampu memperbaiki, jangan sampai menjadi penambah kerusakan. Pasti itu harapan kita semua. Semoga.//Zul
Kembali ke soal MIN Botteng, kehadirannya secara ideal menyerupai kehadiran dokter di hadapan pasien. Pasien tentu sangat membutuhkan kehadiran seorang dokter. Sekali lagi kehadiran MIN Botteng laksana dokter yang berusaha mendiagnosa dan meresepkan obat yang sesuai bagi si sakit. Jangan sampai terbalik, si dokter datang membawa penyakit yang menambah penyakit baru pasien. Alih-alih meresepkan obat, justru membawa penyakit baru. Subhanallah ! Prinsip yang patut dipegang adalah seperti ungkapan Arab yang masyhur; Jika tidak mampu menjadi garam yang menambah kenikmatan, janganlah menjadi lalat yang yang membawa penyakit. Ungkapan ini sederhana tetapi sangat bijak dalam kaitannya dengan kehadiran seseorang atau lembaga tertentu, satker-dalam peristilahan kemenagri- agar perannya benar-benar memberi kemaslahatan. Dengan kata lain, jika tidak mampu memperbaiki, jangan sampai menjadi penambah kerusakan. Pasti itu harapan kita semua. Semoga.//Zul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar