Sabtu, 25 Februari 2012

Guruku: Krisis Spiritualitas

Tentang guru, masih terlalu banyak yang harus diselesaikan. Belum selesai satu urusan, muncul urusan lain. Yang terbaru ada istilah uji kompetensi. Kita salut usaha pemerintah berusaha meningkatkan kemampuan guru. Sekalipun ini, sebagian-sebagian, karena menurut penulis, dari sekolah-sekolah guru, proses pembinaannya, terus cara perekrutannya, dan yang paling penting komitmen bekerja daripada hanya sekedar mengejar jabatan PNS, juga harus menjadi perhatian serius pemerintah. Kinerja Guru dan PNS lainnya, memang tidak cukup hanya dinilai di atas kertas, karena kita bisa main kucing-kucingan. 


Yang tak kalah penting adalah pembinaan integritas, kejujuran dan tanggung jawab. Hanya saja yang terakhir ini, dapat terlaksana jika seorang Guru atau PNS lainnya memiliki tanggung jawab bukan hanya kepada atasannya semata, tetapi memiliki tanggung jawab kepada Tuhannya. Ini seperti menggelikan bagi sebagian orang, tetapi tanpa yang satu ini, sebenarnya kita hanya diajari secara bertahap mempelajari situasi saja kemudian membuat laporan bahwa segalanya telah aman tapi itu hanya di atas kertas. Yang dilapori dan yang melapor telah aman, maka cukuplah, urusan mengantar siswa menjadi manusia cerdas, bertaqwa dll, urusan lain.  Selebihnya sudah tidak terjangkau. Alasannya, kejujuran yang dibangun di atas pondasi kepercayaan kepada Tuhan sangat jauh berbeda dengan kejujuran yang dibangun di atas prinsip kemanusiaan. Jauh sekali perbedaannya. Lebih dilematis lagi, jika pendidikan agama digenjot dan gembleng secara serius, dikhawatirkan muncul ekstrimislah, terorislah, militanlah  atau sejenisnya. Karena itu jam pendidikan agama dikurangi hingga tinggal 2 jam perminggu. Akhirnya pembinaan karakter, tanggung jawab, integritas dan kejujuran murni menurut budaya, kebiasaan umum, bukan berdasarkan kepada kepercayaan kepada ketuhanan yang maha esa. Mungkinkah melahirkan manusia yang bekerja dengan asas Ketuhanan Yang maha Esa, jika seumur-umur di sekolah sampai PT hanya mendapatkan segelintir pendidikan keagamaan? Membangun karakter manusia dengan menjauhkan ajaran agama sama saja dengan mencipta robot yang cerdas. Robot dengan kecerdasan tertentu banyak yang lebih pintar dari manusia, tapi hanya sebatas perintah yang diberikan. Soal tanggung jawab, tenggang rasa, integritas, dll, robot kering dari semua sifat-sifat itu.

Sebaliknya, pendidikan agama, oleh sebagian masyarakat dianggap segala-galanya. maksudnya Jika pendidikan agama telah cukup, maka cukuplah untuk menciptakan kehidupan yang bahagia di dunia. Dengan menguasai dan memahami banyak cabang-cabang ilmu agama, secara otomatis kehidupan akan berpihak kepadanya. Mereka lupa, ideologi dan ajaran agama sebatas pedoman yang memandu dan menata pikiran, perasaan, dan kehidupan kaitannya dengan kesemetaaan. Itulah yang diistilahkan al-Qur'an dengan kata Hudan, bayyinat, alfurqan, dll. Selain itu, masih dibutuhkan ketrampilan tangan guna mendukung kesuksesan di dunia ini, tanpa melanggar rambu-rambu ketuhanan.


Pemerintah juga sebaiknya melihat  beberapa hari yang lalu, tersebar di beberapa media honor guru hanya Rp. 100. 000 /bulan.   Masya Allah...... betapa mulia dan sekaligus menjadi tragedi guru di Indonesia. Bekerja 1 bulan mencerdaskan anak bangsa dengan segala kemampuan dikerahkan, hanya memperoleh seratus ribu rupiah. Itupun masih baguslah, masih mendapatkan yang namanya gaji dari APBN atau APBD. Lumayan ada yang disebut telah memperoleh gaji, lembaga yang menggaji memikirkan cukup atau tidak, layak atau tidak bukan urusan.Pendapatan guru seperti ini lebih murah daripada pendapatan penjaga WC umum diperkotaan.//Zul


Tidak ada komentar:

Posting Komentar