Betapa mulia kedudukan seorang guru. Bukan karena hitung-hitungan gaji rendah atau tinggi, karena pendapatan sedikit dan banyak bukan jaminan tenteram. Selama menjadi guru di beberapa lembaga pendidikan, dari tingkat Sekolah dasar sampai Perguruan Tinggi ada pengalaman yang saya peroleh sebagai hasil dialog antara tugas guru mengajar dengan kemampuan guru dalam membentuk siswanya. Saya membayangkan bahwa guru baik dan pintar bukanlah mereka yang mampu mentrensfer ilmu dan pengetahuan kepada peserta didik. Bukan pula yang disegani atau dicintai peserta didik, karena itu bukan misi utama kehadiran seorang guru. Guru sejati yang saya maksudkan di sini mungkin masih bersifat gambaran- gambaran, namun seperti itulah hakikat dan esensi tugas guru.
Saya membayangkan, guru ideal adalah guru yang mampu membentuk dan mencetak siswa menjadi manusia dengan segala potensi-potensi yang dimilikinya. Guru ini, memiliki kekayaan pengalaman mengenai watak dan kebiasaan peserta didik, sehingga ia akan mengarahkan, menambah atau mengurangi sifat dan kebiasaan anak didik agar siswa memiliki potensi unggul. Misalnya, siswa pemalu, di hadapan guru sejati ini, ia membuat siswa pemalu jadi berani dan percaya diri. Siswa lain datang dengan kebiasaan bawaan pemberani dan 'kurang ajar', maka guru sejati ini berusaha mengurangi sifat negatif yang berlebihan menjadi berani tanpa kurang ajar. Anak didik lain datang dengan sifat minder yang berlebihan, di hadapan guru ini pekerjaan utamanya, berusaha agar siswanya tidak minder alias ia menjadi percaya diri. Demikianlah dari beratus ragam sifat dan kebiasaan siswa, ia mampu menata, memadukan, menyeimbangkan dan kemudian hanya menonjolkan sifat-sifat yang positif.
Guru sejati ini, laksana peracik bumbu yang sangat ahli menyesuaikan takaran seimbang dari sekian banyak jenis rempah-rempah sehingga menghasilkan rasa makanan yang memuaskan. Segala jenis rasa dan aroma rempah-rempah itu, adalah contoh perilaku dan kebiasaan siswa yang sangat komplek, dan ditangan guru sejati inilah semua perilaku, kebiasaan, sifat, karakter dll, diatur, ditata dan dibentuk secara seimbang. Guru seperti ini, hanya dapat dipikul oleh guru yang telah berpengalaman atau mereka yang benar-benar memang mengerti jati diri seorang guru.
Guru sejati ini, jauh dari perilaku yang masuk ke dalam kelas hanya untuk menggugurkan kewajiban, kemudian cukup. Apalagi guru yang memang malas masuk ke kelas. Guru sejati yang dimaksudkan penulis ini, hampir sama dengan tugas guru mengelola pendidikan pembentukan karakter, tetapi bukan sekedar karakter yang sifatnya biologis. Guru sejati di sini lebih banyak kepada pembentukan jiwa dan kekuatan spiritual dengan seluruh potensinya.
Gambaran tugas dan pekerjaan guru sejati ini, sesuai dengan makna tarbiyah, yang tidak cukup hanya mengajar (ta'lim) saja. Sayang seribu sayang, umumnya guru-guru kita hari ini lebih merasa sebagai tenaga pengajar (muallim) dari pada murabbiy. Buktinya, jika guru tidak sanggup mentarbiyah dirinya, manalah mungkin akan mampu mentarbiyah anak didiknya. Jika guru tidak memiliki akhlak mulia, yang hendahk ditransfer kepada anak didik, maka rasa-rasanya tidak mungkin menjadi guru sejati sebagaimana dikemukakan di atas. Guru jenis terakhir ini, hanya menjadi muallim (pengajar) dan belum sanggup menjadi murabbiy.//Zul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar