Minggu, 27 November 2011

Memintal Dusta

Menjalani kehidupan hari demi hari, sejatinya dapat semakin mematangkan, mendewasakan atau semakin mendekati kebenaran dalam peristilahan agama. Tentu aneh, jika usia dan pengalaman makin lama dan makin tua, namun tidak berimbang dengan kualitas hidup yang dihasilkan. Sebagaimana saat kita sekolah di semua jenjang, rentang perjalanan waktu menggiring kita mampu menghadapi kesulitan baru dan pelajaran baru pula demi prestasi yang ingin dicapai. Adalah kerugian dan kehinaan di hadapan sesama siswa, misalnya, jika kemampuan kita justru menurun bahkan semakin tumpul seiring pertambahan waktu. Itu dalam ruang kelas yang dibatasi oleh dinding tembok.
Hanya dengan merenungi hidup, diketahui untung atau rugikah kita?
Dalam dunia nyata atau kehidupan luar kelas, sebenarnya sama saja. Perputaran waktu seharusnya mengantar kita semakin arif dan bijaksana, istilah agama seharusnya semakin bertaqwa-lah, begitu. Namun fakta, sepertinya tidak. Semakin banyak uang,  rumah semakin bagus, kendaraan semakin mahal dan wah, pakaian dan makanan cukup mewah, mungkin iya. Bahkan harus meningkat. Dimensi fisik-material memang kitalah jagonya, tetapi dimensi ruhiyah sepertinya berbeda. Pakaian kita bersih tapi hati kotor, penampilan kita trendi tapi akal lusuh oleh dusta. Kita senyum tapi menyimpan dusta, kita sepertinya tegar namun kotoran jiwa merobohkan bangunan dan kepercayaan diri.
Dusta dan kebohongan itu, tidak tanggung-tanggung, sudah mencapai tingkat akut,  sistemik lagi. Tengoklah lingkungan tempat mencari nafkah, di kantor, pasar, sekolah, bahkan keluarga sekalipun. Bawahan misalnya, harus berdusta karena takut atasan, atasan berdusta karena untuk melindungi bawahan. Benar-benar menjadi lingkaran setan. Akhirnya dusta jadi jualan paling laris. Bahkan ada ungkapan bohong saja belum tentu dapat rejeki, apalagi jujur. Subhanallah!!! Setiap saat kita memintal dusta demi dusta, entah kapan berhenti.
Sisi lain, agama dapat dipahami dengan baik dan benar hanya bagi mereka yang jujur. Oleh karena itu, sangat mungkin ajaran agama akan semakin berseberangan dengan kehidupan, lantaran   dusta dan kebohongan. Amati dan rasakanlah nuansa kehidupan di lingkungan anda, rasa beragama dan komitmen bergama justru semakin rapuh. Bukan karena pendidikan agama dan pengetahuan agama kurang, bukan pula karena terpaksa harus mencukupi kebutuhan minimal kita sehingga harus berdusta. Hemat penulis dusta dan bohong dipicu oleh dua hal: pertama  lemahnya kalau malu berkata hilangnya keyakinan kepada pondasi-pondasi agama dan kedua kebutuhan hidup mewah dan persaingan secara material dengan teman, lebih-lebih tetangga, jauh atau dekat.
Kata memintal menurut kamus Bahasa Indonesia mengandung beberapa arti yaitu 1 memilin untuk membuat tali: orang itu ~ sabut kelapa untuk dibuattali; ~ tali ijuk; 2 mengantih (membuat benang): serabut itu di intal menjadi benang; alat untuk ~ benang sutera. Makna lugawi memintal tersebut kaitannya dengan dusta dapat dikemukakan bahwa jika melakukan dusta, lambat tapi pasti pintalan dusta itu semakin kokoh dan kuat. Pintalan-pintalan atau sulaman-sulaman dusta selanjutnya berubah menjadi jaring dan wadah sangat kuat dan pasti pelakunya akan terjerembab ke dalam jaring tersebut. Dusta telah menjadi karakternyalah, barangkali. Dalam posisi ini, sipelaku dusta sulit menghindari dusta, atau harus berdusta demi menutupi dusta sebelumnya, sementara kedustaannyapun pasti diketahui oleh orang lain dan tidak akan menghasilkan selain kerugian. Bayangkan, betapa sangat menyiksa prilaku ini. Yang aneh sebenarnya, sekalipun situasi ini kita tidak ingin mengalaminya, tetapi sebenarnya kitalah yang merancang dan memintalnya sejak awal. 
Puncaknya, kita terjebak berkelahi dengan diri sendiri, berkelahi dengan keinginan sendiri, berkelahi dengan suara hati, berkelahi dengan nurani. Dan, sress, stroke dan stop dapat menjadi ujung gaya hidup karakter dusta. Karena itu, mari berhati-hati, sebelum terjebak oleh kejahatan yang kita pintal dan rajut sendiri. 
Maka benarlah ungkapan Arab; siapa yang menggali lubang, ia sendiri bakal terjatuh ke dalamnya. Nabi saw. Berkata: wainnama likullimriin ma nawa artinya seseorang pasti mendapatkan apa yang diusahakannya.
Mengetahui akibatnya, maka sangat bijaksana menghindari perilaku yang berujung bahaya. Semoga kita tidak memintal dusta demi dusta lagi//Zul  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar