Menjalani kehidupan hari demi
hari, sejatinya dapat semakin mematangkan, mendewasakan atau semakin mendekati
kebenaran dalam peristilahan agama. Tentu aneh, jika usia dan pengalaman makin
lama dan makin tua, namun tidak berimbang dengan kualitas hidup yang
dihasilkan. Sebagaimana saat kita sekolah di semua jenjang, rentang perjalanan
waktu menggiring kita mampu menghadapi kesulitan baru dan pelajaran baru pula
demi prestasi yang ingin dicapai. Adalah kerugian dan kehinaan di hadapan
sesama siswa, misalnya, jika kemampuan kita justru menurun bahkan semakin
tumpul seiring pertambahan waktu. Itu dalam ruang kelas yang dibatasi
oleh dinding tembok.
Hanya dengan merenungi hidup, diketahui untung atau rugikah kita? |
Dalam dunia nyata atau kehidupan
luar kelas, sebenarnya sama saja. Perputaran waktu seharusnya mengantar
kita semakin arif dan bijaksana, istilah agama seharusnya semakin bertaqwa-lah,
begitu. Namun fakta, sepertinya tidak. Semakin banyak uang, rumah semakin bagus, kendaraan semakin mahal
dan wah, pakaian dan makanan cukup mewah, mungkin iya. Bahkan harus meningkat.
Dimensi fisik-material memang kitalah jagonya, tetapi dimensi ruhiyah
sepertinya berbeda. Pakaian kita bersih tapi hati kotor, penampilan kita trendi
tapi akal lusuh oleh dusta. Kita senyum tapi menyimpan dusta, kita sepertinya
tegar namun kotoran jiwa merobohkan bangunan dan kepercayaan diri.
Dusta dan kebohongan itu, tidak
tanggung-tanggung, sudah mencapai tingkat akut,
sistemik lagi. Tengoklah lingkungan tempat mencari nafkah, di
kantor, pasar, sekolah, bahkan keluarga sekalipun. Bawahan misalnya, harus
berdusta karena takut atasan, atasan berdusta karena untuk melindungi bawahan. Benar-benar
menjadi lingkaran setan. Akhirnya dusta jadi jualan paling laris. Bahkan ada
ungkapan bohong saja belum tentu dapat rejeki, apalagi jujur. Subhanallah!!! Setiap saat kita memintal dusta demi dusta, entah kapan berhenti.
Sisi lain, agama dapat
dipahami dengan baik dan benar hanya bagi mereka yang jujur. Oleh karena itu, sangat mungkin ajaran agama akan semakin berseberangan dengan kehidupan, lantaran
dusta dan kebohongan. Amati dan rasakanlah nuansa kehidupan di
lingkungan anda, rasa beragama dan komitmen bergama justru semakin rapuh. Bukan
karena pendidikan agama dan pengetahuan agama kurang, bukan pula karena terpaksa
harus mencukupi kebutuhan minimal kita sehingga harus berdusta. Hemat penulis
dusta dan bohong dipicu oleh dua hal: pertama lemahnya kalau malu berkata hilangnya
keyakinan kepada pondasi-pondasi agama dan kedua kebutuhan hidup
mewah dan persaingan secara material dengan teman, lebih-lebih tetangga, jauh
atau dekat.
Kata memintal menurut kamus
Bahasa Indonesia mengandung beberapa arti yaitu 1 memilin untuk membuat tali: orang
itu ~ sabut kelapa untuk dibuattali; ~ tali ijuk; 2 mengantih
(membuat benang): serabut itu di intal menjadi benang; alat untuk ~
benang sutera. Makna lugawi memintal tersebut kaitannya dengan
dusta dapat dikemukakan bahwa jika melakukan dusta, lambat
tapi pasti pintalan dusta itu semakin kokoh dan kuat. Pintalan-pintalan atau
sulaman-sulaman dusta selanjutnya berubah menjadi jaring dan wadah sangat kuat dan pasti pelakunya akan terjerembab ke dalam jaring tersebut. Dusta telah menjadi karakternyalah, barangkali. Dalam posisi
ini, sipelaku dusta sulit menghindari dusta, atau harus berdusta demi menutupi
dusta sebelumnya, sementara kedustaannyapun pasti diketahui oleh orang lain dan
tidak akan menghasilkan selain kerugian. Bayangkan, betapa sangat
menyiksa prilaku ini. Yang aneh sebenarnya, sekalipun situasi ini kita tidak ingin mengalaminya, tetapi sebenarnya kitalah yang merancang dan
memintalnya sejak awal.
Puncaknya, kita terjebak berkelahi dengan diri sendiri, berkelahi dengan keinginan sendiri, berkelahi dengan suara hati, berkelahi dengan nurani. Dan, sress, stroke dan stop dapat menjadi ujung gaya hidup karakter dusta. Karena itu, mari berhati-hati, sebelum terjebak oleh kejahatan yang kita pintal dan rajut sendiri.
Maka benarlah ungkapan Arab; siapa yang menggali lubang, ia sendiri bakal terjatuh ke dalamnya. Nabi saw. Berkata: wainnama likullimriin ma nawa artinya seseorang pasti mendapatkan apa yang diusahakannya.
Puncaknya, kita terjebak berkelahi dengan diri sendiri, berkelahi dengan keinginan sendiri, berkelahi dengan suara hati, berkelahi dengan nurani. Dan, sress, stroke dan stop dapat menjadi ujung gaya hidup karakter dusta. Karena itu, mari berhati-hati, sebelum terjebak oleh kejahatan yang kita pintal dan rajut sendiri.
Maka benarlah ungkapan Arab; siapa yang menggali lubang, ia sendiri bakal terjatuh ke dalamnya. Nabi saw. Berkata: wainnama likullimriin ma nawa artinya seseorang pasti mendapatkan apa yang diusahakannya.
Mengetahui akibatnya, maka
sangat bijaksana menghindari perilaku yang berujung bahaya. Semoga kita tidak
memintal dusta demi dusta lagi//Zul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar