Senin, 16 Januari 2012

Mendidik Diri

Lembaga pendidikan sudah demikian banyak. Mulai TK sampai Perguruan Tinggi telah melahirkan orang-orang hebat. Penemu dan dan kreator ulung telah berjubel. Hasil karya dan temuan canggih telah bertebaran di mana-mana. Bahkan keheranan kita belum tuntas, muncul lagi penemuan terbaru, yang pasti lebih canggih. Singkat kata, kita patut angkat jempol sebagai tanda pengakuan dan penghormatan kepada tokoh- intelektual zaman ini.

Namun tahukah anda,  bahwa orang zaman sekarang justru tidak mampu mendidik diri sendiri. Sekalipun berbagai penemuan dan teknologi telah dicipta, akan tetapi mendidik diri, mengendalikan diri esensinya mengalami kegagalan. Buktinya, andai saja orang pintar dan hebat itu mampu mengendalikan diri, perang dunia 1 dan 2 mungkin tidak perlu terjadi. Kisah pilu kemanusiaan tidak harus memenuhi pemberitaan setiap saat. Berbagai kasus asusila, korupsi, penyelahgunaan kekuasaan itu sudah berita umum. Soal kebersihan diri bukan lahirnya saja, soal kebersihan motivasi/niat, soal komitmen, soal kejujuran dan keadilan, soal amanah dan soal substantif  kemanusiaan lainnya hampir punah. Soal-soal terakhir di atas adalah soal kemanusiaan yang sangat urgen.

Hasil teknologi dan penemuan canggih itu seluruhnya berkaitan dengan diri eksistensial, dalam istilah filsafat, tidak menyentuh diri esensi. Sederhananya, zaman modern mampu mencipta HP, TV, Internet, kulkas, dispenser dll, tetapi gagal mencipta kredibilitas, keadilan, kejujuran dan sederet akhlak mulia lainnya. Akibat selanjutnya, anak-anak kita bangga menggenggam HP bermerek, rumah tangga bersaing habis-habisan membeli perabot canggih dll, sementara kualitas hidup dan prilaku sehari-hari tetap tidak menunjukkan kemajuan. Justru jiwa semakin rakus dan tamak, semakin tidak peduli, semakin berani korupsi bahkan ada yang dengan enteng meninggalkan shalat. Pasalnya bukan lagi tentang meninggalkan shalat berjamaah di masjid, tetapi meninggalkan shalat lima waktu sudah perkara ringan. Nauzu billah min zalik. Mereka lebih bangga dengan merek dan style tertentu yang bersifat sangat sekunder, kemudian lalai perbaikan batin, spirit dan kualitas hidup yang primer. Sikap semakin santun, semakin semakin dermawan, semakin baik bertetangga, semakin dewasa mengahadapi problem justru semakin rapuh. Itu kita rasakan sendiri. Lebih parah, jika seorang senior, pemimpin, orang ditokohkan  -tokoh agama lagi-  lebih bangga dengan merek-merek canggih, daripada usaha pengembangan diri dan perbaikan diri, mengingat usia semakin menua, mendekati kematian, tetapi diri tetap tidak sadar-sadar.

Alangkah indah dan bermakna hidup ini, jika hiasan diri internal, menjadi pakaian lahir. Suara keadilan, kedermawanan, kearifan, kekhusyuan, tawadhu' dan sederet pribadi mulia lainnya menjadi penampilan sehari-hari, sekalipun tangan masih menggenggam HP bermerek, di rumah perabot mewah, kendaraan mengkilap dan rumah anggun serta mempesona. Semoga kita dapat menggiring kehidupan ini ke arah yang diridhoi Allah swt, sehingga hidup benar-benar membawa manfaat.//Zul   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar