Sebagai orang yang
mengaku tunduk kepada Allah (muslim) dan meyakini akan kebenaran ajaran Islam
(mukmin), maka segala ucapan, perbuatan
serta hal-hal yang berkaitan dengan kegaiban semestinya senantiasa mengikuti
Syariat Allah swt dan syariat Rasul saw. Bukan karena hendak mengungkung
kebebasan bertindak, berpikir serta berkreasi, akan tetapi sebuah pengakuan akan
keterbatasan kita dan kemampuan kepada
hal-hal yang bersifat syar’iy. Selain itu, keinginan yang kuat memperoleh
rahmat dan syafaat nabi saw, sehingga semaksimal mungkin kita berusaha mengikuti
syariat. Hal ini mengharuskan kita mencari mana yang sebenarnya syar’iy (ada
aturan syariatnya) dan mana yang bukan syar’iy alias tradisi dan budaya yang
telah menyatu dengan pelaksanaan syariat Islam. Jika pencampuran itu, maksudnya
pencampuran tradisi, budaya dan kebiasaan setempat itu, mencampuri dan
menggeser substansi syariah, apalagi sampai menyentuh keimanan-keimnanan pokok
dalam syariat, maka hal ini sebaiknya dievaluasi kembali.
Masyarakat Mandar yang
menyebar di Sulawesi Barat, patut diacungi jempol bahwa semangat dan keinginan
melaksanakan syariat Islam tinggi, - meskipun patut diberi catatan bahwa generasi sekarang sepertinya semangat itu mulai mengendor- kadang-kadang tidak didukung
oleh keilmuaan dan pengetahuan cukup mengenai syariat dan batas-batasnya. Ini
pada akhirnya menyangka tradisi yang berjalan selama ini adalah
syariah Islam, padahal bukan. Sebaliknya, boleh jadi ada Syariah Islam secara substantif,
tetapi dianggap tradisi dan kebiasaan masyarakat.
Nah…… percampuran syariah
dan tradisi ini dalam masyarakat, alangkah bagusnya jika sewaktu-waktu kita
mencoba menelaah bukan berdasarkan kebiasaan dan tradisi, tetapi kita mencobat
mengkajinya berdasarkan tuntunan Allah dalam al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah
saw dalam hadis-hadisnya.
Kali ini, saya menulis
persoalan aqiqah yang telah membudaya dan itu alhamdulillah, tetapi
sesungguhnya pelaksanaan aqiqah menurut sunnah nabi saw, harus kita ketahui. Posting ini, telah saya sampaikan dalam ceramah hikmah aqiqah di rumah keluarga Ust Drs. Musram dan Hasnah S.Pd di Pasa'bu, Rabu tanggal 22 Agustus 2012.
Di
tengah masyarakat umumnya penyebutan aqiqah saja beragam. Ada yang menyebut hakikah,
aqeqaq, dan sebutan lainnya. Ini sebuah sinyal kelalaian umat ini mempelajari sunnah nabi saw, hal itu terlihat dari cara penyebutannya saja tidak betul. Lidah
Mandar menyebutnya “maaqeqa” maksudnya melaksanakan syariat aqiqah. Sebutan
yang benar adalah ‘aqiqah. Sebenarnya, sebagian istilah penyebutannya tidak harus sama dengan bahasa asalnya, seperti kata aqiqah ini juga, namun paling tidah mendekatilah. Misalnya sebutan "maaqeqah, masih wajar, tetapi sebutan hakikah dapat dikategorikan tidak wajar karena jauh dari asal penyebutannya dan sudah pasti dari segi artipun pasti jauh.
Secara lugawi (segi bahasa), aqiqah
artinya memotong atau memutus, juga bermakna rambut di kepala bayi yang baru
lahir. Aqiqah mengandung arti memutus itu dikaitkan kepada pemutusan kerongkongan
kambing (menyembelihnya) saat pelaksanaan aqiqah. Aqiqah mengandung arti rambut
bayi yang dibawa dari rahim ibu, inilah
arti asal sebagaimana pendapat Az-Zamakhsyari.(catatan kakinya menyusul).
Adapun aqiqah menurut
istilah syariah adalah sembelihan kambing atau domba yang dilaksanakan pada
hari ke 7.
Secara kongkrit
pelaksanaan aqiqah dilukiskan hadis nabi saw di bawah ini:
“Setiap anak itu tergadai dengan hewan
aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi
nama.” (HR: Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Inilah hadis yang
secara khusus menyebutkan tata cara pelaksanaan syariah aqiqah sehingga penulis
kitab Subulussalam secara khusus menukil dan mengomentarinya. (lihat kitab
Subulus salam oleh Imam As-Shan’aniy)
Uraiannya sebagai
berikut:
1 1.
Pada hari ke 7
menyembelih kambing dengan niat aqiqah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Sembelihan
kambing atau domba ini bisa dimasak kemudian mengundang sanak family atau teman
dan tetangga, bisa pula disedekahkan dagingnya
yang masih mentah.
2. Mencukur rambut
bayi yang baru lahir
3
3. Memberi nama
yang islami, tentunya.
Selain yang disebutkan
secara berurut di atas, merupakan tambahan dan pelengkap. Intinya hanya
tiga jenis kegiatan di atas. Tambahan kegiatan boleh
dikerjakan juga boleh tidak, kecuali jika tambahan itu melanggar ketentuan nabi
saw, tentu meninggalkannya lebih utama.
Dalil-dalil
Pelaksanaan
Dari
Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi
tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan
(kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i,
Ibnu Majah, Ahmad]
Dari
Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua
kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu
Majah]
Anak-anak
itu tergadai (tertahan) dengan aqiqahnya, disembelih hewan untuknya pada hari
ketujuh, dicukur kepalanya dan diberi nama.” [HR Ahmad]
Dari
Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda : “Aqiqah
dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah
semua gangguan darinya.” [Riwayat Bukhari]
Dari
‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa
diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka
hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan
satu kambing.” [HR Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad]
Hukum
Aqiqah Anak adalah sunnah (muakkad) sesuai pendapat Imam Malik, penduduk
Madinah, Imam Syafi′i
dan sahabat-sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama ahli
fiqih (fuqaha).
Dasar
yang dipakai oleh kalangan Syafii dan Hambali dengan mengatakannya sebagai
sesuatu yang sunnah muakkadah adalah hadist Nabi SAW. Yang berbunyi, “Anak
tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari
kelahirannya)”. (HR al-Tirmidzi, Hasan Shahih)
“Bersama
anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkan (penebus) darinya darah sembelihan
dan bersihkan darinya kotoran (Maksudnya cukur rambutnya).” (HR: Ahmad, Al
Bukhari dan Ashhabus Sunan)
Perkataan:
“maka tumpahkan (penebus) darinya darah sembelihan” adalah perintah, namun bukan
bersifat wajib, karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban yaitu:
“Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka
silakan lakukan.” (HR: Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan).
Perkataan:
“ingin menyembelihkan,..” merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada
dasarnya wajib menjadi sunnah.
Imam
Malik berkata: Aqiqah itu seperti layaknya nusuk (sembeliah denda larangan
haji) dan udhhiyah (kurban), tidak boleh dalam aqiqah ini hewan yang picak, kurus,
patah tulang, dan sakit. Imam Asy-Syafi’iy berkata: Dan harus dihindari dalam
hewan aqiqah ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan dalam qurban.
Buraidah
berkata: Dahulu kami di masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami
mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah
kambing itu. Maka setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing,
mencukur (menggundul) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak wangi. [HR.
Abu Dawud juz 3, hal. 107]
Dari
‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka
ber’aqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah ‘aqiqah, lalu
ketika mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya”. Maka Nabi SAW
bersabda, “Gantilah darah itu dengan minyak wangi”.[HR. Ibnu Hibban dengan
tartib Ibnu Balban juz 12, hal. 124]
Pelaksanaan
aqiqah menurut kesepakatan para ulama adalah hari ketujuh dari kelahiran. Hal
ini berdasarkan hadits Samirah di mana Nabi SAW bersabda, “Seorang anak terikat
dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan aqiqah pada hari ketujuh dan diberi nama”.
(HR. al-Tirmidzi).
Namun
demikian, apabila terlewat dan tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, ia
bisa dilaksanakan pada hari ke-14. Dan jika tidak juga, maka pada hari ke-21
atau kapan saja ia mampu. Imam Malik berkata : Pada dzohirnya bahwa
keterikatannya pada hari ke 7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya
menyembelih pada hari ke 4 (empat) ke 8 (delapan), ke 10 (sepuluh) atau
setelahnya Aqiqah itu telah cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah
memudahkan bukan menyulitkan sebagaimana firman Allah SWT: “Allah menghendaki
kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS.Al Baqarah:185)
Pelaksanaan
aqiqah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda
Nabi SAW, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan hewan
aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi
nama.” (HR: Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Dan
bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada
hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu, ini
berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi Shallallaahu
alaihi wa Sallam, beliau berkata yang artinya: “Hewan aqiqah itu disembelih
pada hari ketujuh, ke empat belas, dan ke dua puluh satu.” (Hadits hasan
riwayat Al Baihaqiy)
Namun
setelah tiga minggu masih tidak mampu maka kapan saja pelaksanaannya di kala
sudah mampu, karena pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh, ke empat belas dan ke
dua puluh satu adalah sifatnya sunnah dan paling utama bukan wajib. Dan boleh
juga melaksanakannya sebelum hari ke tujuh.
Bayi
yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan
aqiqahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia
empat bulan di dalam kandungan ibunya.//Zul..
.