Selasa, 21 Agustus 2012

Aqiqah: Antara Tradisi dan Syariah

Sebagai orang yang mengaku tunduk kepada Allah (muslim) dan meyakini akan kebenaran ajaran Islam (mukmin), maka segala ucapan, perbuatan  serta hal-hal yang berkaitan dengan kegaiban semestinya senantiasa mengikuti Syariat Allah swt dan syariat Rasul saw. Bukan karena hendak mengungkung kebebasan bertindak, berpikir serta berkreasi, akan tetapi sebuah pengakuan akan keterbatasan kita dan kemampuan  kepada hal-hal yang bersifat syar’iy. Selain itu, keinginan yang kuat memperoleh rahmat dan syafaat nabi saw, sehingga semaksimal mungkin kita berusaha mengikuti syariat. Hal ini mengharuskan kita mencari mana yang sebenarnya syar’iy (ada aturan syariatnya) dan mana yang bukan syar’iy alias tradisi dan budaya yang telah menyatu dengan pelaksanaan syariat Islam. Jika pencampuran itu, maksudnya pencampuran tradisi, budaya dan kebiasaan setempat itu, mencampuri dan menggeser substansi syariah, apalagi sampai menyentuh keimanan-keimnanan pokok dalam syariat, maka hal ini sebaiknya dievaluasi kembali. 

Masyarakat Mandar yang menyebar di Sulawesi Barat, patut diacungi jempol bahwa semangat dan keinginan melaksanakan syariat Islam tinggi, - meskipun patut diberi catatan bahwa generasi sekarang sepertinya semangat itu mulai mengendor-  kadang-kadang tidak didukung oleh keilmuaan dan pengetahuan cukup mengenai syariat dan batas-batasnya. Ini pada akhirnya menyangka tradisi yang berjalan selama ini adalah syariah Islam, padahal bukan. Sebaliknya, boleh jadi ada Syariah Islam secara substantif, tetapi dianggap tradisi dan kebiasaan masyarakat. 

Nah…… percampuran syariah dan tradisi ini dalam masyarakat, alangkah bagusnya jika sewaktu-waktu kita mencoba menelaah bukan berdasarkan kebiasaan dan tradisi, tetapi kita mencobat mengkajinya berdasarkan tuntunan Allah dalam al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah saw dalam hadis-hadisnya. 
Kali ini, saya menulis persoalan aqiqah yang telah membudaya dan itu alhamdulillah, tetapi sesungguhnya pelaksanaan aqiqah menurut sunnah nabi saw, harus kita ketahui. Posting ini, telah saya sampaikan dalam ceramah hikmah aqiqah di rumah keluarga Ust Drs. Musram dan Hasnah S.Pd di Pasa'bu, Rabu tanggal 22 Agustus 2012. 

Di tengah masyarakat umumnya penyebutan aqiqah saja beragam. Ada yang menyebut hakikah,  aqeqaq, dan sebutan lainnya. Ini sebuah sinyal  kelalaian umat ini mempelajari sunnah nabi saw, hal itu terlihat dari cara penyebutannya saja tidak betul. Lidah Mandar menyebutnya “maaqeqa” maksudnya melaksanakan syariat aqiqah. Sebutan yang benar adalah ‘aqiqah. Sebenarnya, sebagian istilah penyebutannya tidak harus sama dengan bahasa  asalnya, seperti kata aqiqah  ini juga, namun paling tidah mendekatilah. Misalnya sebutan "maaqeqah, masih wajar, tetapi sebutan hakikah dapat dikategorikan tidak wajar karena jauh dari asal penyebutannya dan sudah pasti dari segi artipun pasti jauh.
Secara lugawi (segi bahasa), aqiqah artinya memotong atau memutus, juga bermakna rambut di kepala bayi yang baru lahir. Aqiqah mengandung arti memutus itu dikaitkan kepada pemutusan kerongkongan kambing (menyembelihnya) saat pelaksanaan aqiqah. Aqiqah mengandung arti rambut bayi yang dibawa dari rahim ibu,  inilah arti asal sebagaimana pendapat Az-Zamakhsyari.(catatan kakinya menyusul). 

Adapun aqiqah menurut istilah syariah adalah sembelihan kambing atau domba yang dilaksanakan pada hari ke 7.  


Secara kongkrit pelaksanaan aqiqah dilukiskan hadis nabi saw di bawah ini:
Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (HR: Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Inilah hadis yang secara khusus menyebutkan tata cara pelaksanaan syariah aqiqah sehingga penulis kitab Subulussalam secara khusus menukil dan mengomentarinya. (lihat kitab Subulus salam oleh Imam As-Shan’aniy)

Uraiannya sebagai berikut:
1                 1.   Pada hari ke 7 menyembelih kambing dengan niat aqiqah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Sembelihan kambing atau domba ini bisa dimasak kemudian mengundang sanak family atau teman dan tetangga, bisa pula disedekahkan dagingnya  yang masih mentah.
                 2. Mencukur rambut bayi yang baru lahir
3              3.  Memberi nama yang islami, tentunya.
Selain yang disebutkan secara berurut di atas, merupakan tambahan dan pelengkap. Intinya hanya tiga jenis kegiatan di atas. Tambahan kegiatan boleh dikerjakan juga boleh tidak, kecuali jika tambahan itu melanggar ketentuan nabi saw, tentu meninggalkannya lebih utama.

Dalil-dalil Pelaksanaan
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad]
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah]
Anak-anak itu tergadai (tertahan) dengan aqiqahnya, disembelih hewan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya dan diberi nama.” [HR Ahmad]
Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Riwayat Bukhari]
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [HR Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad]

Hukum Aqiqah Anak adalah sunnah (muakkad) sesuai pendapat Imam Malik, penduduk Madinah, Imam Syafii dan sahabat-sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama ahli fiqih (fuqaha).
Dasar yang dipakai oleh kalangan Syafii dan Hambali dengan mengatakannya sebagai sesuatu yang sunnah muakkadah adalah hadist Nabi SAW. Yang berbunyi, “Anak tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya)”. (HR al-Tirmidzi, Hasan Shahih)
“Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkan (penebus) darinya darah sembelihan dan bersihkan darinya kotoran (Maksudnya cukur rambutnya).” (HR: Ahmad, Al Bukhari dan Ashhabus Sunan)
Perkataan: “maka tumpahkan (penebus) darinya darah sembelihan” adalah perintah, namun bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban yaitu: “Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka silakan lakukan.” (HR: Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan).
Perkataan: “ingin menyembelihkan,..” merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunnah.
Imam Malik berkata: Aqiqah itu seperti layaknya nusuk (sembeliah denda larangan haji) dan udhhiyah (kurban), tidak boleh dalam aqiqah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit. Imam Asy-Syafi’iy berkata: Dan harus dihindari dalam hewan aqiqah ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan dalam qurban.

Buraidah berkata: Dahulu kami di masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu. Maka setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur (menggundul) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak wangi. [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 107]
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka ber’aqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah ‘aqiqah, lalu ketika mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya”. Maka Nabi SAW bersabda, “Gantilah darah itu dengan minyak wangi”.[HR. Ibnu Hibban dengan tartib Ibnu Balban juz 12, hal. 124]
Pelaksanaan aqiqah menurut kesepakatan para ulama adalah hari ketujuh dari kelahiran. Hal ini berdasarkan hadits Samirah di mana Nabi SAW bersabda, “Seorang anak terikat dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan aqiqah pada hari ketujuh dan diberi nama”. (HR. al-Tirmidzi).
Namun demikian, apabila terlewat dan tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, ia bisa dilaksanakan pada hari ke-14. Dan jika tidak juga, maka pada hari ke-21 atau kapan saja ia mampu. Imam Malik berkata : Pada dzohirnya bahwa keterikatannya pada hari ke 7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya menyembelih pada hari ke 4 (empat) ke 8 (delapan), ke 10 (sepuluh) atau setelahnya Aqiqah itu telah cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah memudahkan bukan menyulitkan sebagaimana firman Allah SWT: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS.Al Baqarah:185)
Pelaksanaan aqiqah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi SAW, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (HR: Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)

Dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, beliau berkata yang artinya: “Hewan aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, ke empat belas, dan ke dua puluh satu.” (Hadits hasan riwayat Al Baihaqiy)
Namun setelah tiga minggu masih tidak mampu maka kapan saja pelaksanaannya di kala sudah mampu, karena pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh, ke empat belas dan ke dua puluh satu adalah sifatnya sunnah dan paling utama bukan wajib. Dan boleh juga melaksanakannya sebelum hari ke tujuh.

Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan aqiqahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam kandungan ibunya.//Zul..

.

2 komentar:

  1. jika ikutseo boleh memberikan 1000 berkah rekomendasi penilian terbaik untuk jasa aqiqah surabaya terbaik dan terlezat, kami memberi nilai jasa aqiqah online 1000 berkah yang berpusat di Surabaya menjadi aqiqah surabaya terbaik.

    BalasHapus
  2. mau ber aqiqah ??
    tapi ingin yang murah ??
    yang mudah ??
    ya di Aqiqah surabaya

    BalasHapus