Sabtu, 18 Agustus 2012

Maaf Itu di Hati Bukan di Lidah


Setiap memasuki lebaran Idul Fitri kita sering mendengar kata maaf. Betapa setiap orang mudahnya  mengucapkan maaf. Entah meminta maupun memberi maaf. Kata maaf memang urusan yang sangat penting dalam beragama. Itu karena memberi atau meminta maaf merupakan prosedur pembersihan diri, diri pribadi, diri sosial dan diri primordial di hadapan Allah swt. 

Judul posting kali ini seperti aneh. Mana mungkin maaf dapat didengar dan apresiasi teman, handaitaulan dll,  kalau tidak dilidahkan  alias diucapkan. Ok. Saya setuju dengan itu. Judul ini hanya hendak menyampaikan bahwa memberi dan meminta maaf sebenarnya bukan urusan di lidah semata kemudian jabatan tangan saja. Tetapi memberi dan meminta maaf lebih besar menjadi saham hati daripada hanya penghias bibir belaka. 

Pikiran ini muncul mengingat zaman sekarang segalanya serba formal, dan formalitas itu letaknya di lidah. Bahkan kata maaf dapat bermakna “pilihlah saya” menjelang pilkada, biasanya hehehe…… . kalu ndak percaya, silahkan Tanya pada caleg saat memasang poster atau baliho ‘minta maaf”. Kalau seseorang telah mengucap maaf, telah dianggap memberi dan meminta maaf. Kalau belum berarti belum juga memberi atau meminta maaf.  

Nah……. Karena maaf itu urusan hati, sebenarnya meminta maupun memberi maaf bukan perkara yang ringan. Memberi dan meminta maaf adalah perkara yang sangat berat bagi dan kejernihan pikiran. Sangat jauh dari makna pepatah menggunting dalam lipatan, atau menjual kucing dalam karung, jauh, jauh sekali.  Maaf adalah kerelaan menghapus, menghilangkan, membuang, melupakan dll  kata yang sejenisnya kesalahan, noda, cacat dan aib teman-teman. Kata ‘afwun yang menjadi sember kata maaf dalam bahasa Arab, sebagian maknanya adalah penghapusan, anugerah, kebaikan,spontan atau secara otomatis.(Lihat Kamus Kontemporer Arab Indonesia Al-‘Ashriy). Jika makna-makna itu diramu, sebenarnya kata maaf adalah pekerjaan hati yang mampu menghapus bekas-bekas kesalahan teman. Dan , sekali lagi bukan pekerjaan mudah baik meminta ataupun memberi maaf. Dengan kata lain prilaku masa lalu diputihkan - menggunakan istilah transaksi keuangan -  sehingga tidak tersisa lagi rasa bersalah, marah, dengki,  dan sejenisnya. Tentu ini adalah pekerjaan hati yang sangat berat seperti telah ditulis di muka. Selain itu, setelah memutihkan kesalahan dan aib teman, kita menggantinya dengan berbuat baik, wow ….. ini tentu lebih berat. Apalagi jika kesalahan itu sangat menyentuh dan melukai hati, sehingga setiap ingat dia pasti terbayang dan langsung terasa sakit. 

Sebagai gambaran betapa berat kata maaf itu, mungkin pembaca pernah mendengar sumpah serapah: “sampai mati saya tidak akan maafkan”. Dan, tidak bisa, begitu mengucap maaf, secara otomatis luka hati hilang dan sembuh. Yang lazim kita lakukan, memang baru sebatas memberi atau meminta dengan lidah murni, namun sebenarnya diam-diam masih menyimpan kesalahan-kesalahan itu, dan sewaktu-waktu jadi senjata yang lebih berat lagi atau jadi bom waktu yang mampu memporak-porandakan ikatan silaturahim lebih parah lagi. 

Menurut konsep al-Qur’an, kisah Abu Bakar As-Shiddiq secara spontan akhirnya  mau memberi maaf pembantunya, Misthah, yang ikut serta menyebar fitnah terhadap Rasulullah dan putrinya Aisyah ra, murni karena keinginan kuat mengharap ampunan Allah swt. Hanya orang-orang yang menginginkan ampunan dan rahmat Allahlah  saja yang mampu memberi dan meminta maaf secara tulus  seperti dicontohkan Abu Bakkar ra. (Silahkan periksa ayat 9 s/d 22 surat An-Nur) Keinginan memperoleh ampunan  dan magfirah Allah swt, mendorong Abu Bakkar ra. secara jujur menghapus kesalahan-kesalahan orang lain. Itu karena kebersihan yang diajarkan Islam berdimensi ganda, bersih di hadapan sesama dan bersih di sisi Allah swt. Keutamaan dan kemuliaan bersih di sisi Allah yang terpatri dalam jiwa yang bersih, mampu meringankan jiwa menghapuskan kesalahan dan aib pasangan hidup, orang tua, guru, tatangga, teman dan bahkan ‘musuh’ sekalipun. Kalau hanya karena pertimbangan lain, misalnya, demi karier, demi jabatan, demi harga diri, demi pemilih dalam pilkada, dan ratusan demi-demi lain selain demi Allah swt, rasa-rasanya tidak mungkin memberi dan meminta maaf seperti Abu bakkar as-Shiddiq tersebut. Ini bukan mendahului taqdir, kata orang tua. Cuma ini suara hati yang bening, jujur, ingin tulus dan berusaha melepaskan daki-daki dari hati. 

Bagaimana? Mampukah kita memaafkan? Atau masih harus berpura-pura lagi. Itu terserah pembaca. Kalau boleh minta tolong, kalau boleh menitipkan sesuatu pada pembaca posting ini, saya minta tolong doakan semoga hati ini mampu memikul kata MAAF yang ditelah dipikul Abu Bakkar ra itu. Ok//Zul   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar