Setiap memasuki lebaran Idul
Fitri kita sering mendengar kata maaf. Betapa setiap orang mudahnya mengucapkan maaf. Entah meminta maupun memberi
maaf. Kata maaf memang urusan yang sangat penting dalam beragama. Itu karena
memberi atau meminta maaf merupakan prosedur pembersihan diri, diri pribadi,
diri sosial dan diri primordial di hadapan Allah swt.
Judul posting kali ini seperti
aneh. Mana mungkin maaf dapat didengar dan apresiasi teman, handaitaulan dll, kalau tidak dilidahkan alias diucapkan. Ok. Saya setuju dengan itu. Judul
ini hanya hendak menyampaikan bahwa memberi dan meminta maaf sebenarnya bukan
urusan di lidah semata kemudian jabatan tangan saja. Tetapi memberi dan meminta
maaf lebih besar menjadi saham hati daripada hanya penghias bibir belaka.
Pikiran ini muncul mengingat
zaman sekarang segalanya serba formal, dan formalitas itu letaknya di lidah.
Bahkan kata maaf dapat bermakna “pilihlah saya” menjelang pilkada, biasanya
hehehe…… . kalu ndak percaya, silahkan Tanya pada caleg saat memasang poster
atau baliho ‘minta maaf”. Kalau seseorang telah mengucap maaf, telah dianggap
memberi dan meminta maaf. Kalau belum berarti belum juga memberi atau meminta
maaf.
Nah……. Karena maaf itu urusan
hati, sebenarnya meminta maupun memberi maaf bukan perkara yang ringan. Memberi
dan meminta maaf adalah perkara yang sangat berat bagi dan kejernihan pikiran.
Sangat jauh dari makna pepatah menggunting dalam lipatan, atau menjual kucing dalam
karung, jauh, jauh sekali. Maaf adalah kerelaan
menghapus, menghilangkan, membuang, melupakan dll kata yang sejenisnya kesalahan, noda, cacat
dan aib teman-teman. Kata ‘afwun yang menjadi sember kata maaf dalam bahasa
Arab, sebagian maknanya adalah penghapusan, anugerah, kebaikan,spontan atau
secara otomatis.(Lihat Kamus Kontemporer Arab Indonesia Al-‘Ashriy).
Jika makna-makna itu diramu, sebenarnya kata maaf adalah pekerjaan hati yang
mampu menghapus bekas-bekas kesalahan teman. Dan , sekali lagi bukan pekerjaan
mudah baik meminta ataupun memberi maaf. Dengan kata lain prilaku masa lalu diputihkan
- menggunakan istilah transaksi keuangan -
sehingga tidak tersisa lagi rasa bersalah, marah, dengki, dan sejenisnya. Tentu ini adalah pekerjaan
hati yang sangat berat seperti telah ditulis di muka. Selain itu, setelah
memutihkan kesalahan dan aib teman, kita menggantinya dengan berbuat baik, wow …..
ini tentu lebih berat. Apalagi jika kesalahan itu sangat menyentuh dan melukai
hati, sehingga setiap ingat dia pasti terbayang dan langsung terasa sakit.
Sebagai gambaran betapa berat
kata maaf itu, mungkin pembaca pernah mendengar sumpah serapah: “sampai mati
saya tidak akan maafkan”. Dan, tidak bisa, begitu mengucap maaf, secara otomatis
luka hati hilang dan sembuh. Yang lazim kita lakukan, memang baru sebatas memberi
atau meminta dengan lidah murni, namun sebenarnya diam-diam masih menyimpan
kesalahan-kesalahan itu, dan sewaktu-waktu jadi senjata yang lebih berat lagi
atau jadi bom waktu yang mampu memporak-porandakan ikatan silaturahim lebih
parah lagi.
Menurut konsep al-Qur’an, kisah Abu Bakar As-Shiddiq secara spontan akhirnya mau memberi maaf pembantunya, Misthah, yang
ikut serta menyebar fitnah terhadap Rasulullah dan putrinya Aisyah ra, murni karena keinginan kuat mengharap ampunan Allah swt. Hanya
orang-orang yang menginginkan ampunan dan rahmat Allahlah saja yang mampu memberi
dan meminta maaf secara tulus seperti dicontohkan Abu Bakkar ra. (Silahkan periksa ayat 9 s/d 22 surat An-Nur) Keinginan
memperoleh ampunan dan magfirah Allah
swt, mendorong Abu Bakkar ra. secara jujur menghapus kesalahan-kesalahan orang
lain. Itu karena kebersihan yang diajarkan Islam berdimensi ganda, bersih di
hadapan sesama dan bersih di sisi Allah swt. Keutamaan dan kemuliaan bersih di
sisi Allah yang terpatri dalam jiwa yang bersih, mampu meringankan jiwa
menghapuskan kesalahan dan aib pasangan hidup, orang tua, guru, tatangga, teman
dan bahkan ‘musuh’ sekalipun. Kalau hanya karena pertimbangan lain, misalnya,
demi karier, demi jabatan, demi harga diri, demi pemilih dalam pilkada, dan
ratusan demi-demi lain selain demi Allah swt, rasa-rasanya tidak mungkin
memberi dan meminta maaf seperti Abu bakkar as-Shiddiq tersebut. Ini bukan mendahului
taqdir, kata orang tua. Cuma ini suara hati yang bening, jujur, ingin tulus dan
berusaha melepaskan daki-daki dari hati.
Bagaimana? Mampukah kita memaafkan?
Atau masih harus berpura-pura lagi. Itu terserah pembaca. Kalau boleh minta
tolong, kalau boleh menitipkan sesuatu pada pembaca posting ini, saya minta
tolong doakan semoga hati ini mampu memikul kata MAAF yang ditelah dipikul Abu
Bakkar ra itu. Ok//Zul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar