Sabtu, 11 Agustus 2012

Renungan & Nasihat seputar Perbedaan Awal Ramdhan dan penetapan Hari Raya

Banyak kalangan telah menerima perbedaan soal awal Ramadhan dan  hari raya idul Fitri/Idul Adha selama beberapa tahun terakhir. Bahkan perbedaan tersebut hampir telah menjadi syariat tersendiri yang harus ditanamkan dalam diri umat. Padahal sebenarnya dengan menggunakan analisa dan ijtihad apapun, sesungguhnya setiap kita pasti sangat menginginkan tidak lagi terjadi perbedaan itu. Dengan dalih  dan dalil apa saja, dengan alat  hitung atau alat rukyat canggih atau kurang canggih, sesungguhnya umat ini sangat merindukan penyatuan awal puasa dan penetapan hari raya. 

Saat menulis posting ini, hari raya idul fitri 1433 H kurang lebih satu pekan lagi. Di mana-mana telah ramai dibincangkan; hari raya kali ini tidak ada perbedaan, ada pula yang masih membuka kemungkinan terjadinya perbedaan. Saya sendiri kadang merenung, apa sesungguhnya yang mengharuskan kita berbeda? Tidak adakah cara yang kita tempuh atau sudah tertutupkah kemungkinan untuk tidak mengulangi kembali perbedaan tersebut? Menjawap dua pertanyaan di atas tentu jawaban saya dengan anda pembaca mungkin saja berbeda. Kali ini coba saya akan mancari jawaban, kiranya dapat menjadi renungan. Jawaban ini, bukan menghakimi pendapat yang telah berkembang, bukan pula memihak ormas tertentu. Semata-mata uraian ini coba secara jernih

Menjawab dua sekaligus pertanyaan di muka: Benda-benda langitkah yang berotasi itu, alat hitung dan alat rukyahkah, tingkat ilmu pengetahuan dan  wawasan dan pengalaman  berbedakah dan lain-lain yang tidak perlu disebut satu persatu. Hemat saya seluruhnya bukan itu semua. Bukan karena hitungan derajat, bukan pula rukyatul hilal termasuk bukan pula karena perbedaan ilmu dan pengetahuan antar pribadi dan antar ormas. Sekali lagi bukan. Dan, memang Allah swt, membekali dengan pengetahuan-pengetahuan mengenai semua  itu bukan untuk dibenturkan dalam percaturan pendapat serta ijtihad orang perorang atau  ormas. Sesungguhnya, sekali lagi sesungguhnya sebab utama dan pertama perbedaan itu, adalah karena di hati kita memang sudah tertanam embrio perbedaan yang lebih dekat kepada  sikap lebih mengunggulkan pribadi, pendapat, ormas, kelompok dll. Dan sikap ini, sebenarnya bukan gejala persatuan demi kemaslahatan atau rahmat, seperti sebagian orang berkata bahwa perbedaan adalah rahmat. Sikap tersebut merupakan sebagian dari bisikan ananiyah syaithoniyah yang semestinya  tidak bersemi di dalam  hati seorang mukmin yang mukhlish

Kita dapat berbeda dalam hitung-hitungan, dapat pula berbeda pada kecanggihan alat rukyat atau mungkin kitab-kitab yang kita pedomani berbeda. Namun demikian, meskipun kita berbedan dengang semua itu, kita masih sangat mungkin mempersatukan perbedaan itu dalam sikap dan tindakan. Dengan ungkapan sederhana, jika si M bersikukuh menetapkan angka 1,  misalnya, sedangkan si N berpendapat  ¼ (seperempat),  yang tidak dapat ditawar karena itulah hasil ijtihad masing-masing dengan biaya besar, sekali lagi misalnya.  Maka demi persatuan dan kemaslahatan umat, dan itu sangat dianjurkan al-quran dan hadis nabi Muhammad saw,  kita dapat menyikapi perbedaan itu dengan sikap kita bersepakat pada angka  ½  (setengah). Itu sangat bisa, karena sikap kita merupakan  cerminan dari ilmu dan kebijakan  serta kearifan  bersikap demi sesuatu yang lebih besar nilai maslahatnya. Dengan kata lain, kita berbeda selama ini, bukan karena gejala alam, atau karena hasil ijtihad, ilmu dan pengetahuan, tapi gejala hati dan keikhlasan sedang defisit. Jika anda telah menetapkan putih sedangkan saya memutuskannya hitam,  misalnya, maka demi kemaslahatan sebagai spirit sosiolgis Islam yang kita imani, apa yang salah atau siapa yang sanggup mempersalahkan jika kita mau bersepakat dalam warna buram/antara putih dan hitam. Tegasnya, ika Ormas Muhammadiyah telah menetapkan hari idul fitri, sedangkan Ormas NU menetapkan sebelum atau sesudahnya atau sebaliknya, hanya perbedaan dalam hitungan derajat, mengapa kita harus berbeda. 

Sekali lagi hanya beda beberapa derajat posisi bulan, sesungguhnya dengan sikap ikhlas demi persatuan yang pasti membawa maslahat besar, pasti kita dapat menetapkan satu waktu dalam hitungan-hitungan derajat itu. Tapi ya, itu tadi, dibutuhkan iman dan jiwa yang arif, bijaksana, ikhlas  dan sifat-sifat mahmudah lainnya, yang kita akui telah bersemi dalam diri. Dengan sikap tasamuh seperti itulah memang menunjukkan bahwa sifat-sifat mahmudah itu telah terpatri dalam diri.//Zul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar