Banyak kalangan telah menerima perbedaan soal
awal Ramadhan dan hari raya idul Fitri/Idul Adha selama beberapa tahun
terakhir. Bahkan perbedaan tersebut hampir telah menjadi syariat tersendiri
yang harus ditanamkan dalam diri umat. Padahal sebenarnya dengan menggunakan
analisa dan ijtihad apapun, sesungguhnya setiap kita pasti sangat menginginkan
tidak lagi terjadi perbedaan itu. Dengan dalih dan dalil apa saja, dengan
alat hitung atau alat rukyat canggih atau kurang canggih, sesungguhnya
umat ini sangat merindukan penyatuan awal puasa dan penetapan hari raya.
Saat menulis posting ini, hari raya idul fitri
1433 H kurang lebih satu pekan lagi. Di mana-mana telah ramai dibincangkan;
hari raya kali ini tidak ada perbedaan, ada pula yang masih membuka kemungkinan
terjadinya perbedaan. Saya sendiri kadang merenung, apa sesungguhnya yang
mengharuskan kita berbeda? Tidak adakah cara yang kita tempuh atau sudah
tertutupkah kemungkinan untuk tidak mengulangi kembali perbedaan tersebut?
Menjawap dua pertanyaan di atas tentu jawaban saya dengan anda pembaca mungkin
saja berbeda. Kali ini coba saya akan mancari jawaban, kiranya dapat menjadi
renungan. Jawaban ini, bukan menghakimi pendapat yang telah berkembang, bukan
pula memihak ormas tertentu. Semata-mata uraian ini coba secara jernih
Menjawab dua sekaligus pertanyaan di muka: Benda-benda
langitkah yang berotasi itu, alat hitung dan alat rukyahkah, tingkat ilmu
pengetahuan dan wawasan dan
pengalaman berbedakah dan lain-lain yang
tidak perlu disebut satu persatu. Hemat saya seluruhnya bukan itu semua. Bukan
karena hitungan derajat, bukan pula rukyatul hilal termasuk bukan pula karena
perbedaan ilmu dan pengetahuan antar pribadi dan antar ormas. Sekali lagi
bukan. Dan, memang Allah swt, membekali dengan pengetahuan-pengetahuan mengenai
semua itu bukan untuk dibenturkan dalam
percaturan pendapat serta ijtihad orang perorang atau ormas. Sesungguhnya, sekali lagi sesungguhnya
sebab utama dan pertama perbedaan itu, adalah karena di hati kita memang sudah
tertanam embrio perbedaan yang lebih dekat kepada sikap lebih mengunggulkan pribadi, pendapat,
ormas, kelompok dll. Dan sikap ini, sebenarnya bukan gejala persatuan demi kemaslahatan
atau rahmat, seperti sebagian orang berkata bahwa perbedaan adalah rahmat.
Sikap tersebut merupakan sebagian dari bisikan ananiyah syaithoniyah
yang semestinya tidak bersemi di
dalam hati seorang mukmin yang mukhlish.
Kita dapat berbeda dalam hitung-hitungan, dapat
pula berbeda pada kecanggihan alat rukyat atau mungkin kitab-kitab yang kita
pedomani berbeda. Namun demikian, meskipun kita berbedan dengang semua itu, kita
masih sangat mungkin mempersatukan perbedaan itu dalam sikap dan tindakan.
Dengan ungkapan sederhana, jika si M bersikukuh menetapkan angka 1, misalnya, sedangkan si N berpendapat ¼ (seperempat), yang tidak dapat ditawar karena itulah hasil
ijtihad masing-masing dengan biaya besar, sekali lagi misalnya. Maka demi persatuan dan kemaslahatan umat, dan
itu sangat dianjurkan al-quran dan hadis nabi Muhammad saw, kita dapat menyikapi perbedaan itu dengan
sikap kita bersepakat pada angka ½ (setengah). Itu sangat bisa, karena sikap kita
merupakan cerminan dari ilmu dan
kebijakan serta kearifan bersikap demi sesuatu yang lebih besar nilai
maslahatnya. Dengan kata lain, kita berbeda selama ini, bukan karena gejala
alam, atau karena hasil ijtihad, ilmu dan pengetahuan, tapi gejala hati dan
keikhlasan sedang defisit. Jika anda telah menetapkan putih sedangkan saya
memutuskannya hitam, misalnya, maka demi
kemaslahatan sebagai spirit sosiolgis Islam yang kita imani, apa yang salah
atau siapa yang sanggup mempersalahkan jika kita mau bersepakat dalam warna
buram/antara putih dan hitam. Tegasnya, ika Ormas Muhammadiyah telah menetapkan
hari idul fitri, sedangkan Ormas NU menetapkan sebelum atau sesudahnya atau
sebaliknya, hanya perbedaan dalam hitungan derajat, mengapa kita harus berbeda.
Sekali lagi hanya beda beberapa derajat posisi
bulan, sesungguhnya dengan sikap ikhlas demi persatuan yang pasti membawa
maslahat besar, pasti kita dapat menetapkan satu waktu dalam hitungan-hitungan
derajat itu. Tapi ya, itu tadi, dibutuhkan iman dan jiwa yang arif, bijaksana,
ikhlas dan sifat-sifat mahmudah
lainnya, yang kita akui telah bersemi dalam diri. Dengan sikap tasamuh seperti
itulah memang menunjukkan bahwa sifat-sifat mahmudah itu telah terpatri
dalam diri.//Zul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar